Recents in Beach

Erosi sebagai Penyebab Degradasi Lahan yang Mengancam Lahan Pertanian

Gambar 1. Degradasi lahan dan kekeringan

(Sumber : Komitmeniklim.id, 2021)

Degradasi lahan dapat diartikan sebagai suatu proses penurunan produktivitas lahan, baik yang bersifat sementara maupun tetap. Menurut Wahyunto dan Ai Dariah (2014), lahan terdegradasi dalam arti lain sering disebut sebagai lahan kritis, lahan tidak produktif, atau lahan tidur yang dibiarkan ataupun tidak digarap. Hal tersebut menyebabkan tumbuhnya semak belukar pada suatu lahan. Sementara itu, jika ditinjau dari sektor pertanian, degradasi lahan dapat didefinisikan sebagai suatu proses penurunan produktivitas lahan yang bersifat sementara maupun tetap dan dicirikan dengan adanya penurunan sifat fisik, kimia, serta biologi tanah (Utami, 2020). Degradasi lahan dapat terjadi karena pertumbuhan penduduk, hilangnya unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran, terkumpulnya garam atau senyawa racun bagi tanaman, penjenuhan tanah oleh air (water logging), serta erosi. Di Indonesia sendiri, erosi tanah merupakan penyumbang terbesar dari terjadinya degradasi lahan. Hal tersebut dikarenakan berdampak yang pada perekonomian seperti penurunan mutu lahan yang menyebabkan menurunnya produksi pertanian khususnya dan meningkatnya biaya pencegahan degradasi lahan yang membutuhkan biaya (Subandi et al., 2018). Erosi merupakan penyebab utama degradasi lahan karena terjadi proses hilangnya lapisan tanah atas yang subur dan baik bagi pertumbuhan tanaman sehingga dapat menyebabkan menurunnya produktivitas tanah, daya dukung tanah, dan kualitas lingkungan hidup (Al Ghifari et al., 2019).

 

Gambar 2. Penebangan hutan secara massal yang menurunkan fungsi hidrologis

(Sumber : Eyes on the Forest, 2021)

Seiring dengan perkembangan pembangunan nasional, degradasi lahan yang berkembang dengan pesat tentunya akan mengancam keberlanjutan sistem pertanian. Penebangan hutan secara massal dan danau penampung air yang ditimbun untuk dialihfungsikan akan berdampak pada penurunan fungsi hidrologis. Jutaan hektar kawasan hutan saat ini masih terdaftar pada peta penggunaan lahan. Sementara itu, faktanya di lapangan sebagian besar sudah tidak mampu menyerap air saat musim hujan dan mensuplai air pada musim kemarau. Lahan pertanian subur sering digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan. Kegiatan tersebut meliputi penggunaan lahan untuk pemukiman, infrastruktur, perkantoran, pertambangan, dan industri. Bahkan, kegiatan pertanian dapat mengancam sustainabilitas pertanian. Contoh nyata yang terjadi yaitu penerapan sistem ladang berpindah, penggunaan lereng terjal untuk tanaman semusim, dan penggunaan agrokimia beracun. Degradasi lahan dewasa ini tidak hanya berupa erosi tanah. Hal tersebut sudah merambah ke dalam bentuk yang lain yaitu banjir, longsor, pencemaran, dan pembakaran lahan yang sering terjadi pada intensitas dan kualitas yang tinggi. Hal ini dapat menjadi ancaman serius bagi kelangsungan sistem pertanian serta tantangan terkait upaya konservasinya.

Erosi merupakan suatu proses alam yang terjadi pada berbagai lokasi yang umumnya semakin parah karena ulah manusia. Proses alam yang menyebabkan terjadinya erosi yaitu faktor curah hujan, tekstur tanah, tingkat kemiringan, dan tutupan tanah. Tingkat erosi yang tinggi dapat disebabkan oleh intensitas curah hujan yang tinggi pada suatu lokasi dengan tekstur tanah sedimen, contohnya pasir serta letak tanah yang agak curam. Selain faktor curah hujan dan tekstur tanah, kemiringan serta penutupan tanah juga memengaruhi tingkat erosi. Tanah yang gundul tanpa adanya tanaman pohon atau rumput akan rawan terkena erosi (Erna-Juita, 2019).


Gambar 3. Proses terjadinya erosi

(Sumber : Geovolvan, 2021)

Di dalam proses terjadinya erosi akan melalui beberapa fase yaitu fase pelepasan, pengangkutan, dan pengendapan. Pada fase pelepasan, terjadi pelepasan partikel dari agregat atau massa tanah dari jatuhnya atau tetesan butir hujan baik langsung dari darat maupun dari tajuk pohon tinggi yang menghancurkan struktur tanah dan melepaskan partikelnya yang terpercik ke udara sampai pada jarak tertentu. Fase selanjutnya adalah fase pengangkutan partikel di mana kemampuan pengangkutan dari suatu aliran sangat dipengaruhi besar kecilnya bahan atau partikel yang dilepaskan oleh butir hujan atau proses lainnya. Bila telah tiba pada tempat di mana kemampuan angkut sudah tidak ada lagi, biasanya pada bagian tempat yang rendah maka energi aliran sudah tidak mampu lagi untuk mengangkut partikel-partikel tanah tersebut maka terjadilah endapan yang menyebabkan erosi (Al Ghifari et al., 2019).


Gambar 4. Tanah yang kehilangan unsur hara dan bahan organik sebagai dampak dari degradasi lahan

(Sumber : cybext.pertanian.go.id, 2019)

Kerugian ekonomi karena degradasi lahan yang ditimbulkan akibat erosi tanah dapat dibagi atas kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh dampak langsung di tempat kejadian erosi (on-site) maupun dampak di luar tempat kejadian erosi (off-site). Dampak langsung yang utama adalah penurunan produktivitas tanaman yang diakibatkan oleh kemerosotan produktivitas tanah, kehilangan unsur hara tanah dan kehilangan lapisan tanah yang baik/subur bagi berjangkarnya akar tanaman. Sementara itu, dampak tidak langsung adalah pelumpuran dan pendangkalan waduk, kerusakan ekosistem perairan, memburuknya kualitas air, meningkatnya frekuensi dan masa kekeringan, serta tertimbunnya lahan-lahan pertanian. 


Gambar 5. Upaya untuk mengatasi degradasi lahan (erosi tanah)

(Sumber : Kemal Jufri, 2020)

Untuk mengatasi degredasi lahan yang berasal dari terjadinya erosi tanah dapat dilakukan beberapa upaya, seperti hal berikut ini:

·    Mengubah lahan menjadi hutan → Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi degradasi lahan adalah mengubah lahan menjadi hutan. Hutan sebagai paru-paru dunia dapat menjadi penyeimbang dari berbagai macam bencana atau kerusakan di muka bumi. Tentu tidak semua lahan akan diubah menjadi hutan karena manusia juga masih membutuhkan lahan untuk dimanfaatkan. Sebagai contoh adalah lahan-lahan yang berada di lereng gunung, atau lahan- lahan di tanah kapur yang tidak cocok untuk pertanian maka bisa diubah menjadi kawasan hutan. Dengan demikian, lahan tersebut tidak akan menjadi lahan gundul yang dapat menurunkan kualitas tanah.

·    Lahan dibuat teras → Teras dapat mengurangi aliran air yang ada di permukaan tanah. Lahan-lahan yang dibuat teras ini hanya lahan yang bersifat kering.

·    Membuat saluran pelepas air di wilayah yang memiliki curah hujan tinggi → Biasanya di daerah yang memiliki curah hujan tinggi tanahnya akan lebih sering basah dan juga terkena aliran air hujan. Apabila tanah tersebut berupa lereng gunung atau bukit atau bahkan dataran tinggi, maka solusi yang pas untuk mencegah penurunan kualitas tanah dengan cara membuat sengkedan atau terasering. Namun hal ini dirasa belum cukup karena degradasi lahan dapat mengancam kapan saja. kita tidak hanya membuat sengkedan atau terasering saja, namun perlu juga untuk membuat saluran pelepas air supaya dapat mengatasi degradasi lahan dengan lebih baik lagi. Saluran pelepas air ini dapat dibuat memanjang sepanjang lereng tersebut.

·    Menghindari penyiangan yang bersih di antara tanaman keras → memperhatikan jika akan melakukan penyiangan terhadap lahan. Hindari penyiangan yang bersih di antara tanaman- tanaman yang keras. Apabila tidak ada pupuk kompos atau pupuk hijau untuk menutup tanah, maka kita dapat menutup dengan menggunakan rumput hijau yang tidak berbahaya bagi tanaman pokok yang kita tanam. Keberadaan tanaman penutup tanah juga akan menentukan tingkat erosi tanah yang terjadi. 

·    Melakukan reboisasi terhadap lahan yang sudah kritis → Penanaman hutan kembali atau reboisasi pada lahan-lahan gundul dapat memberikan nafas baru bagi lingkungan. Penanaman pohon kembali ini tidak hanya dilakukan pada lahan-lahan gundul saja namun juga dilakukan pada lahan kritis. Lahan kritis memiliki kualitas yang menurun dibandingkan dengan lahan di sekitarnya. Untuk menyelamatkan lahan kritis ini kita perlu menanaminya dengan pepohonan. Pepohonan tidak hanya akan menyelamatkan erosi tanah, namun juga mampu menyimpan dan mengunci air tanah.

·    Tidak membakar hutan pada waktu musim kemarau → Pembakaran hutan di musim kemarau justru akan mengakibatkan degradasi lahan. 

Sumber Referensi :

Anonim. 2021. Menanggulangi Degradasi Lahan dan Kekeringan Demi Atasi Krisis Iklim Dunia. https://komitmeniklim.id/menanggulangi-degradasi-lahan-dan-kekeringan-demi-atasi-krisis-iklim-dunia/. Diakses pada tanggal 8 Juni 2022.

Anonim. 2019. Penurunan Kadar Bahan Organik Tanah. http://cybex.pertanian.go.id/mobile/artikel/89892/Penurunan-Kadar-Bahan-Organik-Tanah/. Diakses pada tanggal 12 Juni 2022.

Dariah A., A. Rachman dan U. Kurnia. 2004. Erosi dan degradasi lahan kering di Indonesia. Dalam: Teknologi Konservasi Tanah Pada Lahan Kering Berlereng, 1-9. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Erna-Juita, S. P. 2019. Analisis erosi tebing dan konservasi lahan berbasis kearifan lokal di Nagari Sungai Sariak. Jurnal Spasial: Penelitian, Terapan Ilmu Geografi, dan Pendidikan Geografi. 5(1): 18-23.

Eyes on the Forest. 2021. Penebangan Hutan Alam Kembali Terjadi di Riau. https://www.eyesontheforest.or.id/news/penebangan-hutan-alam-kembali-terjadi-di-riau. Diakses pada tanggal 12 Juni 2022. 

Fatma, D. 2017. 6 Cara Mengatasi Degradasi Lahan. Diakses pada tanggal 9 Juni 2022. https://ilmugeografi.com/ilmu-bumi/tanah/cara-mengatasi-degradasi-lahan

Geovulcan. 2021. Erosi. https://www.geovolcan.com/erosi/. Diakses pada tanggal 12 Juni 2022.

Subandi, M., Dikayani., dan Firmansyah, E. 2018. Production of reserpine of Rauwolfia serpentina [L] kurz ex benth through in vitro culture enriched with plant growth regulators of NAA and kinetin. International Journal of Engineering & Technology. 7(2.29): 274-278.

Sulaeman, D. dan Westhoff, T. 2020. Cara Mengurangi Risiko Erosi Tanah di Indonesia. https://wri-indonesia.org/id/blog/cara-mengurangi-risiko-erosi-tanah-di-indonesia. Diakses pada tanggal 9 Juni 2022. 

Utami, D. N. 2020. Analisis Indeks Kualitas Tanah dalam Upaya Mengatasi Degradasi Lahan di Kabupaten Nganjuk. Jurnal Sains dan Teknologi Mitigasi Bencana. 15(2): 96-106.

Posting Komentar

0 Komentar