Sumber : Ferdinandus Rabu, 2019
Dengan berkembanganya zaman dan kebutuhan manusia akan pangan yang juga meningkat, sesuai dengan SDG no 2 yaitu mengakhiri kelaparan atau mencapai food security (SDG Indonesia, 2017), pertanian yang bersifat sustainable atau berkelanjutan, serta dapat berproduksi secara terus menerus tentu saja diperlukan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menghasilkan pertanian berkelanjutan adalah pada lahan pertanian tersebut. Akan tetapi, di Indonesia pula memiliki banyak permasalahan pada lahan pertanian, beberapa masalah diantaranya adalah dalam penggunaan lahan marginal.
Diagram 1. Penggunaan Lahan Marginal di
Indonesia
Sumber : Sahabatpetani.com, 2018
Perlu diketahui bahwa luas lahan marginal di Indonesia mencapai
157.246.565 hektar. Namun, potensi lahan yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian
baru 91.904.643 hektar, atau sekitar 58,4 % saja (Sahabatpetani.com, 2018).
Lahan-lahan marginal ini juga dapat dikatakan sebagai lahan-lahan tidur yang
sangat berpotensi untuk mencapai food security di Indonesia serta
pertanian yang bersifat sustainable.
Lahan marginal merupakan lahan yang kurang akan unsur hara, serta
memiliki ketersediaan air yang terbatas dikarenakan ketergantungan terhadap
curah hujan pada daerah lahan tersebut berada (Suprapto, 2000 cit. Sallata,
2017). Tentu saja lahan yang bersifat kritis tidak dapat dimanfaatkan secara optimal
karena mengalami proses kerusakan fisik, kimia, maupun biologi yang pada
akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemukiman,
dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Lahan kritis juga merupakan sebutan
lain dari lahan marginal, di mana merupakan lahan yang memiliki beberapa faktor
pembatas, sehingga menyebabkan sedikit tanaman yang mampu tumbuh pada lahan
tersebut (Sallata, 2017). Ciri-ciri dari lahan marginal dapat dilihat pada
kesuburannya, di mana tingkat kesuburannya menurun sehingga tidak dapat
berproduksi secara optimum yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan
keuntungan terhadap petani. Selain pada unsur hara, pengairan pada lahan
tersebut juga dilihat, di mana pada lahan marginal memiliki fungsi yang kurang
sebagai penyalur tata air, serta lapisan olah pada lahan marginal biasanya
dangkal sehingga sulit dijadikan sebagai tempat yang optimal untuk tumbuh
tanaman.
Gambar 2. Proses Rehabilitasi Lahan
Sumber : Heru Febrianto, 2021.
Walaupun lahan marginal kurang optimum untuk dijadikan sebagai lahan
produksi di bidang pertanian, bukan berarti lahan tersebut tidak berguna 100%,
dengan perlakuan-perlakuan tertentu atau campur tangan manusia, tentu saja
lahan marginal juga dapat digunakan sebagai lahan berproduksi. Salah satu
perlakuan yang dapat dilakukan adalah rehabilitasi lahan yang disesuaikan
dengan kesesuaian lahan tanaman tertentu. Rehabilitasi lahan marginal merupakan
tindakan perpaduan teknologi di dalam batas-batas alam dari suatu area untuk
optimalisasi sumberdaya lahan, air, dan tanaman dalam rangka mencukupi
kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan (Ernawanto & Sudaryono, 2016).
Dengan adanya rehabilitasi lahan, maka potensi pada lahan-lahan tersebut dapat
digunakan secara maksimal, di mana dengan penggunaan potensi inilah yang dapat
menjadi salah satu solusi untuk mencapai pertanian sustainable serta food
security di Indonesia.
Gambar 3. Bentang Alam Lahan Marginal di Provinsi Kalimantan Selatan
Sumber : Suharta, 2010
Beberapa contoh lahan
marginal yang dapat ditemui adalah pada daerah Kalimantan, di mana penggunaan
lahan marginal tergantung pada kondisi relief lahan tersebut serta
proses-proses yang terjadi pada lahan tersebut. Penyebaran tanah marginal lahan
kering dari batuan sedimen masam yang paling luas terdapat di Kalimantan Timur
(12,96 juta ha), Kalimantan Tengah (7,74 juta ha), dan Kalimantan Barat (7,31
juta ha), dan terkecil di Kalimantan Selatan yaitu 2,13 juta ha (Puslittana,
2000). Seperti yang dibahas sebelumnya, lahan yang bersifat marginal bukan
berarti lahan tersebut tidak digunakan, di Kalimantan, lahan marginal sebagian
besar dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman perkebunan, seperti karet, kelapa
sawit, kopi, lada, dan hutan tanaman industri. Tanah marginal di Kalimantan
meliputi areal 30,15 juta ha, tetapi luas lahan yang digunakan untuk perkebunan
baru sekitar 5 juta ha sehingga masih tersedia lahan yang luas untuk
dikembangkan (Suharta, 2010).
Tentu saja agar dapat menggunakan potensi lahan marginal secara keseluruhan, diperlukan kontribusi dari masyarakat dan pemerintahan terhadap lahan tersebut, di mana kontribusi ini dapat berupa rehabilitasi, perlu diketahui bahwa rehabilitasi ini dapat mengimplementasikan beberapa teknologi-teknologi modern agar dapat menjadikan sifat fisik atau kimia tanah pada lahan tersebut menjadi sesuai dengan komoditas yang akan ditanam.
Gambar 4. Conservation Agriculture Method Gagasan FAO Untuk Indonesia
Sumber : cimmyt.org, 2020
Beberapa contoh rehabilitasi dan penggunaan lahan marginal yang telah
dilakukan dalam bidang pertanian di Indonesia adalah kerjasama kementerian
pertanian Indonesia dengan FAO, di mana hasil dari kerja sama ini adalah
pembentukan Conservation Agriculture Method, yang memiliki fokus untuk
meningkatkan produktivitas jagung di lahan marginal Nusa Tenggara Timur dan
Nusa Tenggara Barat. Model Conservation Agriculture bertujuan
meningkatkan kesuburan tanah melalui optimasi kelembaban tanah, efisiensi
pemanfaatan air tanah, penggunaan bahan organik untuk kesuburan tanah
(Sahabatpetani.com, 2018).
Gambar 5. Jagung milik petani di Bayolewun, Kecamatan Witihama, Pulau
Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Sumber : Aloysius Lewokeda, 2020
Selain dari pemerintah, masyarakat juga berkontribusi dalam potensial
lahan marginal, khususnya masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai
petani. Petani dengan lahan marginal ini pada umumnya petani kecil dengan
perekonomian rendah dan pendapatan rendah sehingga sangat berpengaruh dalam
berusahatani yang masih tradisional dan subsisten. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa petani pada lahan marginal pada umumnya hanya mengandalkan hujan sebagai
sumber air untuk berusahatani sehingga saat musim kemarau hampir sebagian besar
lahan tidak dikerjakan oleh petani. Keadaan seperti ini menyebabkan tingkat
produktivitas lahan dan pendapatan petani menjadi rendah. Petani yang tidak
dapat bercocok tanam karena lahannya marginal atau kritis, selain
penghasilannya berkurang, pengeluarannya bertambah banyak untuk merehabilitasi
lahannya yang tidak produktif tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya
rehabilitasi lahan dari masyarakat secara intensif dan sederhana, terutama pada
lahan di sekitar mata air dengan berbagai jenis tanaman (Raka et al.,
2011).
Setelah dilakukan rehabilitasi lahan marginal, hal yang perlu dilakukan
adalah konservasi, di mana dengan adanya konservasi maka dapat memitigasi
peluang untuk terjadinya kerusakan kembali atau penurunan kualitas pada lahan
tersebut. Tipe konservasi tanah dan air yang banyak diterapkan di seluruh dunia
termasuk dalam pengelolaan DAS di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam empat
kelompok utama yaitu agronomi, vegetatif, struktur, dan managemen (WASWC, 1998 cit.
Sallata, 2017). Dari keempat kelompok tersebut, yang paling mudah dan
paling umum digunakan adalah kelompok agronomi, di mana perlakuan pada kelompok
metode agronomi antara lain yaitu pemberian mulsa, pengaturan pola tanam,
pemberian amelioran, pengayaan tanaman, pengolahan tanah konservasi,
penanaman mengikuti kontur, pemupukan, pemanenan, atau kegiatan lain sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan (Sallata, 2017). Hal tersebut memiliki
kesamaan dengan metode yang disampaikan dalam UU RI no. 37 tahun 2014 tentang
Konservasi Tanah dan Air yaitu vegetatif, agronomi, sipil, teknis, manajemen,
dan metode lain sesuai dengan perkembangan IPTEK. Kelompok metode vegetatif
antara lain yaitu penanaman kayu-kayuan, tanaman perdu, penanaman MPTS (Multi
Purpose Trees Species), tanaman pagar, penanaman strip rumput untuk ternak,
dan tanaman penutup tanah lainnya.
Gambar 6. Ilustrasi Menjaga Alam
Sumber : pure-leisure.co.uk, 2019
Ernawanto, Q, D., dan Sudaryono, T. 2016.
Rehabilitasi lahan marginal dalam rangka meningkatkan produktivitas dan konservasi
air. Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur,
598-605.
Puslittanak. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah
Eksplorasi Indonesia, Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Raka, I, D, N., Wiswasta, A., dan Budiasa, I, M.
2011. Pelestarian tanaman bambu sebagai upaya rehabilitasi lahan dan konservasi
tanah di daerah sekitar mata air pada lahan marginal di Bali Timur. Jurnal
Agrimeta, 1-11.
Sallata, M, K. 2017. Pentingnya aplikasi teknik
konservasi air dengan metode struktur fisik di wilayah hulu DAS. Buletin
EBONI, 14(1) : 47-62
Sahabatpetani.com. 2018. Lahan marginal menyimpan
potensi menunjang ketahanan pangan. Diakses pada September 10, 2021, dari https://petrokimia-gresik.com/news/lahan-marginal-menyimpan-potensi-menunjang-ketahanan-pangan
Suharta, N. (2010). Karakteristik
dan permasalahan tanah marginal dari batuan sedimen masam di Kalimantan. Jurnal
Litbang Pertanian, 29(4), 139-146.
Sustainable Development Goals. Diakses pada
September 10, 2021, dari https://www.sdg2030indonesia.org/
0 Komentar