Gambar 1. Morfologi puncak Gunung Merapi sebelum dan sesudah
erupsi (Surono et al., 2012)
Gunung Merapi sebagai salah satu
gunung api aktif di Indonesia telah mengalami beberapa kali letusan, baik
letusan kecil maupun letusan besar yang terjadi hampir setiap periode waktu.
Berdasarkan data yang tercatat, Gunung Merapi telah meletus lebih dari 80 kali
sejak tahun 1600 silam atau rata-rata sekali meletus umumnya terjadi dalam 4
tahun (Badan Geologi, 1979 cit.
Kiswiranti & S.B. Kirbani, 2013). Keaktifan dari gunung ini dapat dilihat
berdasarkan letusan-letusan totalnya ataupun letusan lain yang hanya bersifat
freatik. Letusan Gunung Merapi ini tentu dapat menyebabkan erupsi dan bencana
besar bagi ekosistem.
Erupsi Merapi pada tahun 2010 silam
merupakan salah satu bukti akurat adanya kejadian fenomenal yang menyebabkan
kerusakan yang sangat parah (Hendro, 2018). Erupsi ini menyebabkan ribuan orang
kehilangan lahan dan tempat tinggalnya. Mulanya, erupsi Gunung Merapi yang
terjadi pada 26 Oktober 2010 silam dimulai dengan letusan yang terjadi sebanyak
tiga kali dengan jarak waktu berdekatan. Aktivitas vulkanik yang ditunjukkan
semakin meningkat seiring berjalannya waktu hingga akhirnya terjadi letusan
besar. Letusan besar ini terus diiringi dengan letusan-letusan lainnya dan
terus berlanjut hingga 5 November 2010. Dalam kejadiannya, letusan Gunung
Merapi sering kali terjadi dengan mekanisme yang berbeda, misalnya pada tahun
2010 lalu, letusan Gunung Merapi terjadi secara eksplosif (Marfai et al., 2012). Hal ini sama halnya
dengan letusan yang terjadi pada tahun 1872 silam. Letusan eksplosif ini
ditandai dengan semburan abu vulkanik dengan kekuatan yang sangat dahsyat dan
mencapai ketinggian hingga puluhan kilometer.
Berdasarkan tinjauan
karakteristiknya, Gunung Merapi sendiri merupakan gunung basaltik-andesit
stratovolkano yang terletak 30 km di sebelah utara Kota Yogyakarta. Gunung
Merapi telah dikenal sebagai gunung berapi aktif yang kerap kali
"batuk" lalu disusul oleh kepulan asap dan guguran lava. Jejak
aktivitas vulkanisme Gunung Merapi sejak tahun 1548 diduga telah mengalami
erupsi sebanyak 70 kali (Mei et al.,
2013). Erupsi Gunung Merapi umumnya mengeluarkan lava kental yang menyumbat
mulut lava sehingga menjadikan tekanan gas semakin bertambah kuat dan memecahkan
sumbatan lava. Pecahnya sumbatan lava akan memuntahkan material piroklastik dan
juga mengeluarkan awan panas yang kerap disebut dengan wedhus gembel (Kurniasih, 2023). Terjadinya proses erupsi
ditengarai oleh gunung api yang merupakan suatu sistem fluida dengan kandungan
material cair dengan temperatur dan tekanan tinggi. Pada kedalaman tertentu,
fluida dapat naik ke permukaan sebagai akibat dari desakan gaya endogen. Adanya
gempa vulkanik menjadi salah satu sebab terjadinya erupsi gunung api. Potensi erupsi
dapat semakin mungkin terjadi, apabila intensitas dan magnitudo gempa semakin
besar (Isa, 2020). Salah satu kejadian erupsi besar dengan intensitas dan
magnitudo yang tinggi terjadi pada saat tahun 2010 silam yang terkenal akan
dampak destruktifnya terhadap berbagai aspek lingkungan maupun sosial ekonomi.
Gambar 2. Dokumentasi Masjid Al Amin di Kinahrejo yang
terdampak erupsi Gunung Merapi pada tiga periode yang berbeda. Garis biru
menunjukkan fondasi masjid pada ketiga gambar (Jenkins et al., 2013)
Erupsi Gunung Merapi 2010 nyatanya
membawa dampak kerusakan yang luar biasa. Umumnya, Gunung Merapi menghasilkan
letusan dengan nilai Vulcanology
Explosion Index (VEI) pada kisaran 0-3. Anomali terjadi pada tahun 2010
tatkala terjadi erupsi yang dahsyat dengan nilai VEI mencapai 4. Erupsi Merapi
2010 menjadi letusan terbesar setelah letusan terakhir pada tahun 1872 dengan
nilai VEI yang sama, yaitu VEI 4
(Jenkins et al., 2013). Erupsi ini
menyebabkan sebanyak 1.705 jiwa mengalami luka-luka, 332 jiwa meninggal dunia,
dan 4.874 jiwa mengalami gangguan psikologis. Selain itu, adanya awan panas
turut menyebabkan 2.447 rumah rusak berat dan 6.472 rumah lainnya rusak sedang.
Dampak lain berupa bencana sekunder turut dirasakan oleh warga yang bertempat
di Kota Yogyakarta dengan adanya banjir lahar yang merusak 182 rumah di
bantaran Kali Code Yogyakarta (Marfai et
al., 2012). Akan tetapi, dampak dari erupsi Gunung Merapi tak selalu
membawa dampak buruk. Beberapa hasil riset telah membuktikan bahwa material
piroklastik hasil erupsi gunung berapi nyatanya memberi dampak positif terhadap
tanah, seperti halnya dapat menyumbang material baru yang mampu menambah hara
dan mengkonservasi produktivitas tanah. Material dari gunung berapi juga
terbukti menjadi media yang cocok untuk pertumbuhan tanaman, memperbaiki sifat
fisik tanah, dan meningkatkan ketersediaan air bagi tanaman (Aini et al., 2019).
Erupsi Gunung Merapi memuntahkan
material vulkanik yang berdampak terhadap proses pembentukan dan perkembangan
tanah. Material vulkanik jatuh secara berkala akan menyebabkan adanya
periodisasi pengendapan sehingga menyebabkan tanah tidak dapat berkembang
lanjut dan umum dijumpai adanya horizon tertimbun (Foth, 1990). Hal ini
menyebabkan tanah-tanah berumur muda cenderung dominan menempati kawasan lereng
gunung api. Jenis tanah yang berkembang dari material hasil erupsi Gunung
Merapi berdasarkan hasil penelitian Aini et
al. (2019) dapat digolongkan ke
dalam ordo Entisol, Inceptisol, dan Andisol yang tersebar mulai dari bagian
atas, lereng atas, lereng tengah, hingga kaki lereng bagian selatan Gunung
Merapi. Hal ini selaras dengan penelitian Meitasari et al. (2024) bahwa tanah yang berkembang di kawasan lereng Gunung
Merapi pada tingkat subgrup, berupa Typic Hapludands, Vitrandic Udorthents,
Andic Eutrudepts, Andic Dystrudepts, dan Typic Udorthents yang terdapat pada
berbagai jenis tegakan tanaman.
Gambar 3. Minipit sebagai media
pengamatan dan kondisi vegetasi di beberapa lokasi penelitian (Meitasari et al., 2024)
Peristiwa
erupsi tentu juga berdampak terhadap karakteristik tanah yang terbentuk di
sekitar lereng gunung api. Karakteristik berupa sifat fisika, kimia, dan
biologi menjadi beberapa parameter yang menggambarkan kondisi suatu tanah.
Penelitian yang dilakukan oleh Meitasari et
al. (2024) mengenai perbandingan dua model asesmen Soil Quality pada penggunaan lahan dan unit topografi yang berbeda
di bagian lereng barat daya Gunung Merapi menunjukkan hasil bahwa terdapat
beberapa sifat fisika, kimia, dan biologi yang dipengaruhi oleh kondisi
kemiringan lereng. Kondisi kemiringan lereng sendiri dapat digambarkan dengan
posisi lereng yang terdiri dari empat kategori, yaitu lereng atas > lereng
tengah > lereng bawah > kaki lereng. Kandungan mineral lempung lebih tinggi
pada kawasan kaki lereng dikarenakan adanya proses erosi dan translokasi. Nilai
dari berat volume dapat dikategorikan sangat rendah pada berbagai posisi lereng
diduga karena pengaruh dari bahan induk tanah, berupa abu vulkanik. Kemantapan
agregat dapat dikategorikan tidak stabil sebagai akibat dari tingginya
porositas dan tekstur tanah pasiran di berbagai posisi lereng. Secara kimiawi,
kondisi pH H2O pada berbagai posisi lereng cenderung masam sebagai
pengaruh dari bahan induk tanah yang juga masam. Menurunnya posisi lereng akan
diikuti dengan penurunan nilai pH NaF. Nilai C-Organik cenderung turun
mengikuti turunnya posisi lereng sebagai akibat dari kondisi iklim mikro yang
berbeda pada tiap posisi lereng. Penelitian lain yang dilakukan oleh Aini et al. (2019) menunjukkan bahwa material
vulkanik hasil erupsi Merapi memiliki potensi dalam merilis hara sehingga
secara sifat kimiawi dapat dikatakan subur. Secara mineralogi, komposisi
material erupsi gunung merapi secara berurutan didominasi oleh gelas vulkanik
(50%), plagioklas (30%), hornblenda (10%), kuarsa (6%), dan opak. Implikasi
terhadap komposisi material dari tanah tersusun dari plagioklas (90.7-95.2%),
piroksin (2.5%-4.1%), dan hornblenda (1.04%-3.88%) sehingga menghasilkan hara
yang didominasi oleh Fe diikuti dengan Ca > Mg > P > K > Na >
Zn. Keterdapatan mineral primer dalam material vulkanik menjadi penting karena
berperan dalam proses pelepasan unsur hara yang selanjutnya menjadi pasokan
hara tersedia bagi tanaman. Dengan demikian, erupsi menjadi suatu proses untuk
meregenerasi tanah yang terdegradasi atau hilang akibat longsor dan erosi.
Di samping dapat meregenerasi
kondisi tanah sekitar, peristiwa erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada tanggal
26 Oktober 2010 ini juga mengakibatkan kerusakan sumber daya lahan yang terjadi
akibat abu dan pasir yang menutupi lahan pertanian dengan ketebalan yang
tinggi. Awan panas dan material yang dikeluarkan oleh Gunung Merapi pada saat
erupsi terjadi telah merusak permukiman penduduk yang berada pada area terdampak.
Kondisi lahan yang dulunya memiliki vegetasi yang subur sangat cocok untuk
digunakan untuk pertanian dengan berbagai jenis tanaman mulai dari buah-buahan
hingga sayuran. Akan tetapi, kondisi lahan yang subur tersebut berubah menjadi
lahan yang tertutup abu vulkanik sehingga menyebabkan lahan sulit untuk
ditanami tanaman lagi karena rusaknya berbagai jenis vegetasi dan topografi
sehingga memiliki cukup waktu yang lama serta usaha yang tidak sedikit untuk
mengembalikannya lagi.
Kerusakan lahan menjadi salah satu
dampak yang paling terlihat karena kondisi perubahan fisik lahan yang terjadi
serta penumpukan sedimen berupa material vulkanik menyebabkan terjadinya
pendangkalan dan perubahan koefisien limpasan yang sangat signifikan di daerah
aliran sungai tersebut, perubahan fisik lahan yang terjadi, antara lain
berubahnya kemiringan lereng, jenis tanah, timbunan air permukaan dan penutup
vegetasi Murwibowo et al. (2013). Kerusakan fisik yang diakibatkan oleh erupsi Gunung
Merapi berdampak pada beberapa sektor, yaitu permukiman, infrastruktur, sosial
ekonomi, seperti lahan pertanian sumber penghasilan masyarakat yang
mengakibatkan terganggunya aktivitas di kawasan lereng Gunung Merapi. Kondisi
lahan sebelum terjadi letusan masih memiliki vegetasi yang subur sehingga banyak lahan yang digunakan untuk
pertanian dengan tanaman seperti sayuran dan buah-buahan sehingga
keanekaragaman hayati menjadi habitat berbagai flora dan fauna. Kondisi Merapi
setelah erupsi memiliki perubahan yang sangat signifikan terhadap sektor
pertanian. Rusaknya vegetasi akibat abu vulkanik yang tebal menutupi lahan
pertanian, menghancurkan tanaman, dan merusak struktur tanah yang menjadi media
tanam sektor pertanian saat itu. Pengaruh erupsi terhadap sektor pertanian sangatlah
tinggi. Penurunan nilai produksi dan pendapatan
para petani akibat rusaknya lahan yang tertutupi abu vulkanik sehingga
struktur tanah berubah menjadi sulit untuk diolah dan sering terjadinya erosi.
Kondisi tanaman yang hancur mulai dari daun dan batang tanaman yang terganggu
proses fotosintesis akhirnya menyebabkan kematian tanaman sehingga sektor
pertanian mengalami kegagalan panen. Kondisi tersebut memerlukan jangka
waktu yang lama untuk proses pemulihannya sehingga petani memerlukan rehabilitasi
lahan dengan memperbaiki struktur tanah dan diversifikasi pada tanaman dengan
beralih ke jenis tanaman yang lebih tahan terhadap kondisi tanah pascaerupsi
serta pola tanam yang disesuaikan dengan kondisi pascaerupsi (Rahayu et al., 2014).
Selain sektor pertanian yang
mengalami kerugian besar akibat bencana letusan Gunung Merapi, sektor
nonpertanian juga mengalami banyak kerugian. Mulai dari penurunan penghasilan
masyarakat yang terhambat akibat gangguan erupsi mulai dari bisnis baik itu
dari segi pariwisata karena banyak toko, pasar, dan usaha hingga tempat-tempat
destinasi yang ditutup akibat bencana tersebut. Penurunan kunjungan wisatawan
akibat bencana erupsi yang menyebabkan penurunan drastis dalam jumlah wisatawan
yang berkunjung ke Yogyakarta, terutama ke area sekitar Merapi yang biasanya
menjadi daya tarik wisata. Beberapa bangunan komersial, termasuk pasar dan
toko-toko mengalami kerusakan akibat material vulkanik atau karena tertutup
oleh abu vulkanik. Selain itu, kondisi tersebut juga memberikan dampak pada
kesehatan masyarakat karena abu vulkanik yang menyebar di udara menyebabkan
peningkatan kasus penyakit pernapasan hingga terjadinya gangguan kesehatan
mental masyarakat akibat mengalami stress berat hingga trauma karena banyaknya penduduk yang harus
dievakuasi atau kehilangan tempat tinggal
hingga mengalami luka-luka.
Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010
silam menyisakan material-material vulkanik di beberapa titik tertentu.
Umumnya, material erupsi Gunung Merapi yang menutupi areal pertanian secara
garis besar berasal dari material abu vulkanik. Abu vulkanik sendiri merupakan
suatu bahan material jatuhan yang dilontarkan ke udara saat terjadi suatu
letusan dan akan jatuh pada jarak ribuan kilometer dari kawah akibat dari
adanya hembusan angin (Tarigan, 2015). Kadar keasaman atau pH abu vulkanik
berada di rentang nilai 4-4,3. Sementara itu, tanah yang terkena abu vulkanik
akan memiliki kadar keasaman tanah sebesar 5-5,5 (Tarigan, 2015). Hal ini tentu
menandakan bahwa pada kondisi tersebut, pH tanah bernilai kurang dari nilai pH
tanah pada kondisi netral, yakni sekitar 6-7. Turunnya kadar pH tanah ini dapat
mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan tanah sehingga tanah perlu dilakukan
pengelolaan.
Dari sektor pertanian, pengelolaan
lahan tertutup abu vulkanik ini perlu dilakukan guna menciptakan kembali lahan
yang produktif. Pengelolaan lahan berbahan abu vulkanik ini dapat diawali
dengan pengenalan dan analisis terhadap karakteristik tanahnya, mulai dari
analisis sifat fisik tanah, biologi tanah, hingga kimia tanah. Abu vulkanik
yang disemburkan oleh erupsi Gunung Merapi ini sebenarnya memiliki kandungan
mineral yang tinggi, tetapi memerlukan waktu yang cukup panjang untuk
penyesuaian pH dengan pH tanah pada suatu lahan pertanian agar kandungan mineral
tersebut dapat menjadi zat hara yang dapat diserap oleh tanaman. Pengelolaan
lahan yang diperlukan pada kasus ini dapat dilakukan dengan penambahan bahan
organik, seperti kompos, pupuk kandang, atau limbah organik lainnya. Hal ini
penting untuk dilakukan karena dapat meningkatkan ketersediaan nutrisi dalam
tanah sekaligus dapat memperbaiki struktur tanah. Selain itu, pengelolaan lahan
berbahan abu vulkanik dapat dilakukan dengan memastikan aerasi yang cukup yang
juga disertai dengan pengelolaan air yang baik. Kelembapan tanah yang tertutup
material abu vulkanik perlu dipastikan dengan cermat untuk meningkatkan
aktivitas mikroorganisme tanah. Dalam hal ini, penerapan sistem rotasi tanaman
juga dapat dilakukan untuk menghindari penurunan kualitas tanah.
Dari paparan di atas, erupsi Gunung
Merapi yang terjadi pada 14 tahun yang lalu nyatanya memiliki dampak positif
dan negatif tersendiri. Dalam jangka pendek, abu vulkanik yang disemburkan oleh
letusan Gunung Merapi dapat memicu terjadinya kerusakan lingkungan yang sangat
luas. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan suhu, terutama di area sekitar
lahan erupsi. Akan tetapi, dalam jangka panjangnya, abu vulkanik ini merupakan
suatu anugerah tersendiri karena kandungan mineralnya yang mampu meningkatkan produktivitas
pertanian. Hal ini dibuktikan oleh tingginya kandungan mineral yang terdapat
dalam abu vulkanik, seperti halnya unsur sulfur yang dapat berfungsi sebagai
pemasok unsur hara tanaman (Tarigan, 2015).
Aini, L., Soenarminto, B., Hanudin, E., and Sartohadi, J. 2019. Plant nutritional potency of recent volcanic materials from the southern flank of mt. Merapi, Indonesia. Bulgarian Journal of Agricultural Science, 25(3): 527–533.Dillashandy, N. A., dan Panjaitan, N. K. (2018). Kapasitas adaptasi dan resiliensi komunitas menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi. Jurnal Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM], 2(5), 617-626.Foth, D.H. 1990. Fundamentals of Soil Science. 8th Edition, John Wiley and Sons Incorporated, Hoboken.Hendro, E.P. 2018. Religiusitas Gunung Merapi. Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, 2(1): 21-29.Isa, Muhammad. 2020. Vulkanologi. Syiah Kuala University Press, Aceh.Jenkins, S., Komorowski, J. C., Baxter, P. J., Spence, R., Picquout, A., and Lavigne, F. 2013. The Merapi 2010 eruption: An interdisciplinary impact assessment methodology for studying pyroclastic density current dynamics. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 261: 316-329.Kiswiranti, D. dan H. Kirbani, S.B. 2013. Analisis statistik temporal erupsi Gunung Merapi. Jurnal Fisika, 3(1): 37-42.Kurniasih, S. 2023. Seri Fenomena Alam dan Mitigasi: Letusan Gunung Api. Bumi Aksara, Jakarta.Marfai, M.A., A., Cahyadi, D.S., Hadmoko, dan A.B., Sekaranom. 2012. Sejarah letusan Gunung Merapi berdasarkan fasies gunung api di daerah aliran Sungai Bedog, Daerah Istimewa Yogyakarta. Riset Geologi dan Pertambangan, 22(2): 73-79.Mei, E. T. W., Lavigne, F., Picquout, A., De Bélizal, E., Brunstein, D., Grancher, D., Sartohadi, J., Cholik, N., and Vidal, C. 2013. Lessons learned from the 2010 evacuations at Merapi volcano. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 261:348-365.Meitasari R., Hanudin, E., dan Purwanto, B.H. 2024. Comparison of two soil quality assessment models under different land uses and topographical units on the southwest slope of Mount Merapi. Soil & Water Research, 19: 77–89.Murwibowo, P., dan Gunawan, T. 2013. Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis untuk Mengkaji Perubahan Koefisien Limpasan Permukaan Akibat Letusan Gunung Merapi Tahun 2010 Di Sub Das Gendol Yogyakarta. Jurnal Bumi Indonesia, 2(1).
Penulis: Trinova Ajiyaksa Ramadhan, Agatha Dian Maharani, dan Fitri Arfetirahmah
0 Komentar