Di seluruh bumi ini, terdapat berbagai macam jenis tanah yang antara satu dengan yang lain memiliki ciri khas masing-masing. Untuk membedakan antara satu tanah dengan tanah lain maka dilakukan pengklasifikasian atau pengelompokan jenis-jenis tanah dengan menggunakan suatu kriteria tertentu yang hampir sama antara satu tanah dengan tanah lain. Salah satu sistem klasifikasi tanah yang digunakan di Indonesia ialah sistem klasifikasi USDA. Sistem klasifikasi USDA menggunakan enam kategori yaitu Ordo, SubOrdo, Great group, Subgroup, Family, dan Seri. Terdapat 10 ordo tanah dalam sistem taksonomi USDA, salah satunya yaitu tanah entisol.
Gambar Tanah Entisol
(Sumber: Wikimedia Commons, 2005)
Tanah entisol merupakan tanah yang masih sangat muda
atau tanah yang belum mengalami proses perkembangan lanjutan. Kata ”Ent” pada kata entisol dapat diartikan
sebagai recent atau baru. Tanah
entisol ditandai dengan tidak adanya horizon penciri lain kecuali epipedon
ochrik, albik atau histik. Padanan entisol pada sistem klasifikasi lama
termasuk pada tanah Aluvial atau Regosol. Tanah entisol merupakan tanah yang mempunyai
kejenuhan Basa (KB) dan KTK bervariasi; pH bervariasi dari asam, netral, sampai
alkalis; dan memiliki rasio C/N<20 (Karnilawati et al., 2015). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan
tanah entisol antara lain iklim yang sangat kering, erosi yang kuat,
pengendapan yang terus menerus, bahan induk yang sukar lapuk, bahan induk yang
tidak subur, selalu jenuh air atau tergenang, waktu yang singkat serta adanya
perubahan yang drastis dari vegetasi diatasnya (Gibran, 2011).
Gambar Persebaran Tanah Entisol di
Indonesia
(Sumber: Kementerian Pertanian RI, 2016)
Tanah Entisol umumnya
dapat dijumpai pada dataran tinggi, daerah dasar lereng pengunungan, atau pada
daerah yang menjadi saluran lahar vulkan. Agihannya hampir dapat ditemui di
seluruh wilayah kepulauan Indonesia, karena memang di wilayah Indonesia mudah
untuk ditemukan pegunungan berapi. Tanah entisol paling banyak dan mudah
ditemui terutama di Jawa, Sumatera, dan Nusa Tenggara. Luasnya kurang lebih 3
juta hektar atau sekitar 2,1 % dari keseluruhan luas lahan di Indonesia. (Gaol et al., 2014).
Tanah Entisol merupakan lahan marjinal yang memiliki
sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang kurang subur karena memiliki tekstur
pasir, struktur yang lepas-lepas, permeabilitas cepat, daya menahan dan simpan
air yang rendah, serta hara tersedia yang rendah (Gaol et al., 2014). Tanah Entisol cenderung tidak mengalami perkembangan
solum yang dalam. Hal ini dikarenakan adanya faktor iklim seperti curah hujan
yang rendah di mana proses infiltrasi air dan pencucian air ke dalam solum
tanah kurang. Kondisi tersebut menyebabkan tanah entisol memiliki solum A dan C
yang terbilang dangkal. Solum A memiliki ketebalan yang bervariasi (10-30 cm)
dan didominasi oleh mineral pasir dan kuarsa tanah, sedangkan solum C
didominasi oleh batuan induk yang belum melapuk sempurna, dan sulit ditembus
oleh air dan perakaran tanaman. Kondisi tersebut menjadi faktor-faktor pembatas
terhadap proses budidaya tanaman (Wahyuni & Rahma., 2014).
Gambar Penambahan Bahan Organik di Lahan
(Sumber: Nurdin, 2019)
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas tanah yaitu dengan adanya penambahan bahan organik pada tanah entisol. Bahan organik merupakan senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil mineralisasi (Hanafiah, 2013). Pengaruh bahan organik terhadap sifat fisika tanah yaitu memperbaiki struktur tanah, berperan dalam pembentukan agregat tanah, meningkatkan daya menahan air dan hara tanah dan meningkatkan jumlah air serta hara tersedia bagi tumbuhan. Sedangkan pada sifat kimia tanah entisol, bahan organik dapat meningkatkan kapasitas tukar kation dan meningkatkan kandungan hara Ca, K, dan P pada tanah (Gaol et al., 2014).
Sumber Referensi:
Gaol, S. K. L., H. Hanum., dan G.
Sitanggang. 2014. pemberian zeolit dan pupuk kalium untuk meningkatkan
ketersediaan hara K dan pertumbuhan kedelai di entisol. Jurnal Online
Agroekoteknologi 2(3): 1151-1159
Gibran. 2011. Tanah Entisol. http://semangatgeos.blogspot.com/.
diakses pada tanggal 5 September 2021
Ilmu Geografi.
2005. Tanah Entisol : Pengertian,Ciri, Karakteristik dan Pemanfaatan. https://ilmugeografi.com/ilmu-bumi/tanah/tanah-entisol
. diakses pada tanggal 6 September 2021.
Karnilawati., Yuznizar., dan
Zuraida. 2015. Pengaruh jenis dosis bahan organik pada entisol terhadap pH
tanah dan P-tersedia tanah. Prosiding Seminar Nasional 313-318
Kementerian Pertanian RI. 2016.
Basis Data Statistik Pertanian. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. https://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/newkom.asp.
Diakses pada tanggal 5 September 2021
Nurdin. 2019. Bahan organik dan
pengaruhnya bagi tanah. http://cybex.pertanian.go.id/mobile/artikel/86293/BAHAN-ORGANIK-DAN-PENGARUHNYA-BAGI-TANAH/. Diakses pada tanggal 5 September 2021
Wahyuni, S dan Rachma. 2014.
Rehabilitasi lahan marginal tipe entisols melalui pembongkaran bahan induk dan
penambahan bahan organik. Seminar Nasional XI Pendidikan Biologi FKIP UNS
622-628
Wikimedia Commons. 2005. Entisol. https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Entisol.jpg.
diakses pada tanggal 5 September 2021
0 Komentar