Indonesia memiliki berbagai jenis tanah, salah satunya tanah lempung berpasir yang banyak digunakan untuk budidaya kelapa sawit. Tanah lempung berpasir ini merupakan tanah yang bersifat porous dan memiliki kemantapan agregat yang rendah. Kondisi tersebut, menyebabkan air dan udara mudah keluar masuk, sehingga air dan udara yang dapat tertahan di dalam media tanam sangat sedikit. Selain itu, tanah jenis tersebut juga memiliki kandungan bahan organik, kemampuan retensi air, dan kapasitas tukar kation tanah yang rendah (Suwardji et al., 2007 cit Suwardji et al., 2012). Rendahnya bahan organik pada tanah lempung berpasir mempengaruhi kemantapan agregat tanah. Tidak mengherankan, jika tanah ini memiliki permasalahan utama berupa ketidakmantapan agregat tanah yang dapat mengakibatkan rendahnya retensi air dan hara (Suwardji et al., 2012).
Kemantapan
agregat merupakan suatu sifat tanah yang sangat penting untuk mempengaruhi pergerakan
air maupun udara, penyimpanan air maupun udara, terjadinya erosi, aktivitas
mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman (Gofar dan Utama, 2020).
Kemantapan agregat juga sangat penting bagi tanah pertanian dan perkebunan,
karena agregat yang stabil akan menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan
tanaman. Agregat dapat menciptakan lingkungan fisik yang baik untuk
perkembangan akar tanaman melalui pengaruhnya terhadap porositas, aerasi dan
daya untuk menahan air. Pada tanah yang agregatnya kurang stabil, apabila
terkena gangguan maka agregat tanah tersebut akan mudah hancur. Butir-butir
halus hasil hancuran akan menghambat pori-pori tanah sehingga mengakibatkan bobot
isi tanah menjadi meningkat, aerasi buruk dan permeabilitas menjadi lambat.
Selain itu, kemantapan agregat juga dapat menentukan tingkat kepekaan tanah
terhadap erosi. Kemampuan agregat untuk bertahan dari gaya perusak dari luar
(stabilitas) dapat ditentukan secara kuantitatif melalui Aggregate Stability Index (ASI). Indeks ini merupakan penilaian
secara kuantitatif terhadap kemantapan agregat (Santi et al., 2008).
Faktor-faktor
yang mempengaruhi kemantapan agregat tanah antara lain pengolahan tanah,
aktivitas mikroorganisme tanah, dan penutupan tajuk tanaman pada permukaan
tanah yang dapat menghindari splash
erotion akibat curah hujan tinggi. Agregat tanah terbentuk karena proses flokulasi
dan fragmentasi. Flokulasi dapat terjadi jika partikel tanah yang awalnya dalam
keadaan terdispersi, kemudian bergabung membentuk agregat. Sedangkan
fragmentasi terjadi jika tanah dalam keadaan masif, kemudian terpecah-pecah
membentuk agregat yang lebih kecil. Semakin stabil suatu agregat tanah maka
semakin rendah pula kepekaannya terhadap erosi ( Kemper and Rosenau, 1986 cit Santi et al., 2008).
Suatu
tanah yang memiliki kemantapan agregat yang rendah seperti di tanah lempung
berpasir ini dapat di perbaiki menggunakan bakteri penghasil eksopolisakarida
yang berasal dari tanaman kelapa sawit.
Beberapa bakteri seperti Agrobacterium
radiobacter, A. tumefaciens, Rhizobium melilotii, Halomonas eurihalina,
Leuconostoc dextranicum, Pseudomonas aeruginosa, P. putida, Xanthamonas sp.,
Agrobacterium radiobacter, dan A.
Tumefaciens menghasilkan beberapa jenis polisakarida penting (Ahmad et al., 2015 cit Gofar dan Utama, 2020). Eksopolisakarida yang disintesis oleh
bakteri-bakteri tersebut kemudian disekresikan ke lingkungan eksternal berupa
homopolimer atau heteropolimer seperti xanthan, curdlan, asam hialuronat dan
dekstran (Hussain et al., 2017 cit Gofar dan Utama, 2020). Eksplorasi
bakteri penghasil eksopolisakarida ini merupakan upaya awal untuk pengembangan
bakteri sebagai agen pemantap agregat tanah (Gofar dan Utama, 2020).
Biasanya,
bakteri penghasil eksopolisakarida berasal dari akar tanaman kelapa sawit.
Bakteri yang dapat
membentuk agregat tanah ini terdiri dari
bakteri gram positif dan gram
negatif. Eksopolisakarida asal bakteri gram negatif akan mengikat partikel
tanah dan membentuk agregasi (Santi et
al., 2008). Pertumbuhan dan aktivitas bakteri pemantap agregat ditunjukkan
oleh tumbuhnya koloni dan terbentuknya lendir (slime) di permukaan koloni
(Gofar dan Utama, 2020). Akar tanaman kelapa sawit dapat memberikan kontribusi
terhadap kelimpahan bahan organik tanah dan kemantapan agregat tanah secara
langsung melalui material akar tersebut dan secara tidak langsung melalui
stimulasi aktivitas mikroorganisme di daerah sekitar perakaran (Watt et al., 1993 cit Santi et al., 2008).
Kemantapan agregat ini kemungkinan dapat terjadi karena pengaruh eksudat akar
kelapa sawit dan jumlah populasi bakteri yang cukup tinggi di sekitar perakaran
(Santi et al., 2008).
Populasi bakteri penghasil ekspolisakarida paling banyak dijumpai pada akar tanaman kelapa sawit yang berumur lebih dari 10 tahun dan paling rendah dijumpai pada akar tanaman kelapa sawit yang masih di pembibitan. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya bahan organik dari sisa-sisa tumbuhan pada akar tanaman kelapa sawit yang berumur lebih dari 10 tahun. Penambahan bahan organik selama kurang lebih 10 tahun dapat mengakibatkan kandungan bahan organik tanah lebih tinggi dibandingkan tanpa pemberian bahan organik (Utomo et al., 2015 cit Gofar dan Utama, 2020). Hal tersebut, juga berpengaruh pada kemantapan agregat yaitu tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih tinggi memiliki kemantapan agregat yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang tanpa pemberian bahan organik. Struktur dan komposisi eksopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri di akar kelapa sawit tergantung pada faktor lingkungan seperti media, sumber karbon dan nitrogen, sistem fisiologi bakteri (aerobik atau anaerobik), dan kondisi fermentasi (pH, suhu, dan konsentrasi oksigen)(Ahmad et al., 2015 cit Gofar dan Utama, 2020). Sejumlah senyawa yang menyusun komposisi monomer eksopolisakarida ini diantaranya mengandung glukosa, ramnosa, asam glukuronat dan manosa (Kaur et al., 2013 cit Gofar dan Utama, 2020). Tingginya bahan organik pada tanah akan bermanfaat untuk pembenah stabilitas tanah (Suwardji, 2012).
Eksopolisakarida yang dihasilkan dari bakteri pemantap agregat tanah di akar tanaman kelapa sawit memiliki peran penting dalam agregasi dan stabilisasi struktur tanah. Molekul eksopolisakarida juga berperan untuk menyalurkan nutrisi ke dalam produksi polisakarida dan melindungi dari berbagai macam cekaman lingkungan. Selain itu, eksopolisakarida juga dapat digunakan sebagai biosorben potensial untuk menghilangkan logam berat dari lingkungan (Shuhong et al., 2014 cit Gofar dan Utama, 2020), meningkatkan kemampuan tanah memegang air dan mentransformasi senyawa fungisida di dalam tanah (Yang et al., 2014 cit Gofar dan Utama, 2020).
Sumber Referensi:
Fauzi, R., dan Maryono. 2016.
Kajian erosi dan hasil sedimen untuk konservasi lahan DAS Kreo Hulu. Biro
Penerbit Planologi Undip, 12 (4): 429 – 445.
Gofar, N., dan D.Utama. 2020. Eksplorasi bakteri penghasil
eksopolisakarida dari rizosfer kelapa sawit sebagai pemantap agregat tanah.
Buletin Palma, 21(1): 22 – 28.
Pangaribuan, N. 2018.Eksplorasi
mikroorganisme indigenusinseptisols. Jurnal Matematika, Sains, dan Teknologi, 19
(2): 80-88.
Sandin, M., J. Koestel, N. Jarvis,
and M. Larsbo. 2017. Post-tillage
evolution of structural pore space and saturated and near-saturated hydraulic
conductivity in a clay loam soil. Soil and Tillage Research, 165: 161-168.
Santi, L., A. Dariah, dan
D.H.Goenadi. 2008. Peningkatan
kemantapan agregat tanah mineral oleh bakteri penghasil eksopolisakarida.
Menara Perkebunan, 76 (2):93 – 103.
Suwardji, W.H. Utomo, dan
Sukartono. 2012. Kemantapan agregat setelah aplikasi biochar di tanah lempung
berpasir pada pertanaman jagung di lahan kering Kabupaten Lombok Utara. Buana
Sains, 12(1): 61-68.
0 Komentar