(Sumber:
Björkman,
2019)
Dewasa ini, kegiatan penambangan sudah marak terjadi di berbagai wilayah, khususnya di negara Indonesia. Penambangan yang dilakukan secara legal maupun ilegal tentunya memberikan konsekuensi yang nyata pada lingkungan di sekitarnya. Salah satunya, merusak kondisi ekosistem yang ada, dimana kerusakan tersebut berakibat pada terganggunya fungsi, produktivitas lahan ataupun hilangnya hubungan antara kehidupan dan sulit untuk kembali ke keadaan semula meskipun kegiatan penanaman kembali sudah dilakukan (Allo, 2016). Biasanya penambangan di Indonesia menggunakan metode penambangan terbuka (open pit mining) yang menyebabkan hilangnya vegetasi, perubahan topografi tanah secara permanen, degradasi tanah, dan mengganggu kondisi hidrologis serta merusak lingkungan sekitarnya (Noviyanto et al., 2017). Terjadinya degradasi tanah ditandai dengan perubahan perlapisan tanah yaitu tanah bagian atas bercampur dengan overburden sehingga terjadi pemadatan tanah saat penimbunan kembali (Tampubolon, 2020).
Pada lahan bekas tambang yang direklamasi umumnya terjadi pemadatan tanah sehingga memperburuk sistem tata air dan aerasi tanah. Hal tersebut berdampak negatif pada fungsi dan perkembangan akar tanaman. Selain itu, adanya dampak berupa penurunan unsur hara, toksisitas lahan dan kemasaman lahan. Selanjutnya, dikatakan bahwa kedua tipe penambangan tetap akan menghasilkan limbah galian (rock dump) dan limbah olahan (tanah tailing) yang bersifat toksik (Balkema, 1997). Logam berat yang berhubungan dengan kegiatan pertambangan diketahui memiliki sifat toksik apabila tersedia dalam bentuk yang melewati ambang batas normal seperti, Fe, Mn, Cu, Pb, Cd, Cr dan Co yang juga berperan bagi pertumbuhan tanaman namun menjadi phytotoxic jika konsentrasinya tinggi (Rai dan Paul., 2011).
Degradasi
Kualitas Tanah akibat pertambangan batubara
(Sumber: Rai dan Paul., 2011)
Degradasi
top soil pada lahan bekas tambang
batubara
(Sumber:
Rai dan Paul., 2011)
Menurut Rachman et
al. (2017), dalam menilai kualitas tanah terdapat indikator yang tentunya
akan berbeda untuk masing-masing jenis penambangan, namun disarankan enam
indikator yaitu kandungan bahan organik tanah (BOT), reaksi tanah (pH), berat volume tanah
(BV), kapasitas air
tersedia, agregasi, dan respirasi tanah. Umumnya, lahan bekas tambang akan
memiliki kualitas tanah sebagai berikut:
1. Bahan Organik Tanah (BOT)
BOT
merupakan indikator kualitas tanah yang dapat digunakan untuk memeriksa degradasi
tanah akibat erosi tanah. BOT
dapat digunakan sebagai indikator dominan pada kedalaman tanah 0-10 cm, dan
penilaian kualitas tanah pada berbagai macam areal dan budidaya. Selain itu, C
organik tanah tergolong sebagai indikator penting untuk memeriksa kualitas
tanah di agroekosistem. Bahan organik tanah yang diketahui tersimpan dalam
lapisan bagian atas tanah yang umumnya dikenal dengan istilah ‘humus’ semakin
ke bawah semakin berkurang sehingga membatasi kemampuan tanah dalam menyangga
pH, retensi air, dan meningkatkan aktivitas biologis. Bahan organik yang ada
pada top soil semakin menurun setelah
ditambang karena lapisan atas terangkat pada waktu proses pengerukan kulit
bumi.
2. Reaksi Tanah (pH)
pH tanah merupakan indikator untuk mengetahui
ketersediaan unsur-unsur hara dalam tanah yang disebabkan pengaruh pH pada mekanisme
pertukaran ion koloid tanah dan larutan tanah. Unsur hara tersedia dalam tanah
apabila pH tanah netral. Umumnya pada lahan bekas pertambangan pH tanah menjadi
masam yang mengakibatkan ketersediaan unsur Al
meningkat dan mengakibatkan hara N, P, K, mengalami penurunan
ketersediaan dalam tanah (Allo, 2016). pH asam terjadi karena pencucian dari basic cations. Dalam kondisi asam
seperti itu, toksisitas ion H, ketersediaan tinggi A1 dan Mn, serta tidak
tersedianya Mo adalah penghalang utama pertumbuhan tanaman (Ghose, 2004).
3.
Berat volume tanah (BV)
BV tanah pada lahan bekas pertambangan memiliki nilai
yang lebih tinggi daripada lahan yang tidak dilakukan penambangan (unmined). Hal itu dipengaruhi oleh
adanya pemadatan dari penggunaan mesin. Tingginya BV tanah memiliki
implikasi serius bagi perubahan sifat tanah berikutnya karena difusi gas menjadi
lebih sulit. Selanjutnya, kepadatan tanah yang tinggi akan menimbulkan
pembatasan pada pertumbuhan akar tanaman dan mungkin menjadi salah satu alasan
terhentinya pertumbuhan tanaman (Ghose, 2004).
4.
Kapasitas air tersedia
Kapasitas
air tersedia berhubungan dengan bahan organik tanah. Pada lahan bekas
pertambangan, bahan organik tanah yang terdapat pada bagian top soil cenderung sangat rendah karena
adanya pengerukan. Akibatnya, tanah berubah menjadi keras sehingga kemampuan
menahan air tersedia juga akan menurun (Rachman et al., 2017). Pengaruh dari fraksi yang dominan pada lahan juga
mempengaruhi kapasitas air yang tersedia dalam tanah.
5. Agregasi
Fraksi
pasir sering mendominasi lahan bekas tambang dikarenakan
kondisi tanah setelah ditambang semakin memperlihatkan ciri-ciri tanah tailing
(ampas/ sisa) yaitu berpori makro, tekstur pasir atau kerikil, kandungan unsur
hara rendah, padat bila kering dan konsistensinya jelek (Sukresno, 1996 cit Allo, 2016). Maka dari itu,
agregasi tanah pada lahan dapat dikatakan buruk. Namun, beberapa jenis pertambangan misalnya
nikel menunjukkan fraksi liat lebih mendominasi sehingga agregasinya lebih
baik. Semakin
halus tekstur tanah, maka kemampuannya dalam menahan air yang tersedia untuk
pertumbuhan tanaman semakin tinggi. Sisi negatifnya, kondisi aerasi tanah
menjadi jelek dan sifat pengolahan tanahnya semakin berat (Allo, 2016).
6.
Respirasi tanah
Respirasi
tanah merupakan proses yang sangat kompleks dan merupakan indikator penting
kesehatan tanah, yang menunjukkan jumlah CO2 yang dilepaskan dari
tanah akibat dekomposisi bahan organik tanah oleh mikroba tanah. Meskipun
respirasi tanah merupakan ukuran penting dari siklus karbon, ada beberapa
faktor yang mempengaruhi proses respirasi tanah seperti temperatur, kelembaban,
dan pH tanah (Buta et al., 2019). Minimnya
bahan organik tanah (BOT) menyebabkan aktivitas biologis dalam tanah
tidak maksimal sehingga respirasi tanah menurun pada lahan bekas tambang.
Inventarisasi tanaman
pasca tambang
(Sumber: Setiawan et al., 2017)
Sumber referensi :
Allo, Merryana Kiding. 2016. Kondisi
sifat fisik dan kimia tanah pada bekas tambang nikkel serta pengaruhnya
terhadap pertumbuhan trengguli dan mahoni. Jurnal Hutan Tropis. 4(2): 207-218.
Balkema. A.A. 1997. Tailings and mine
waste. Rotterdam. Netherlands
Björkman,
Markku. 2019. Finnish
mining industry: new law can harm many open-pit mines. https://www.miningmetalnews.com/20190802/1216/finnish-mining-industry-new-law-can-harm-many-open-pit-mines.
Diakses pada tanggal 4 Juli 2021
Buta, Mihai., Blaga, Gheorghe.,
Paulette, Laura., Pacurar, Ioan., Rosca, Sanda., Borsai, Orsolya., Grecu,
Florina., Sinziana, P. Ecaterina., Negrusier, Cornel. 2019. Soil reclamation of
abandoned mine lands by revegetation in northwestern part of transylvania: a
40-year retrospective study. Sustainability. 11: 1-18.
Ghose, Mrinal K. 2004. Effect of opencast
mining on soil fertility. Journal of Scientific & Industrial Research. 63:
1006-1009.
Noviyanto, A., Purwanto., Minardi, S.,
dan Supriyadi. 2017. The assesment of soil quality of various age of land
reclamation after coal mining: a chronosequence study. Journal of Degraded and
Mining Lands Management. 5(1): 1009-1018.
Rachman, Achmad., Sutono., Irawan., dan
Suastika, I Wayan. 2017. Indikator Kualitas Tanah pada lahan bekas
pertambangan. Jurnal Sumberdaya Lahan. 11(1): 1-10.
Rai, Arvind Kumar., dan Paul, Biswajit.
2011. Degradation of Soil Quality Parameters Due to Coal Mining Operations in
Jharia Coalfield, Jharkhand, India. Journal of Advanced Laboratory Research in
Biology. 2(2): 1-6.
Setiawan, Krisna Adib., Sutedjo., dan Matius, Paulus. 2017. Komposisi jenis tumbuhan pasca tambang batubara. J Hut Trop 1(2): 182-195.
Tampubolon, Gindo., Mahbub, Itang A., dan Lagowa, Muhammad I. 2020. Pemulihan kualitas tanah bekas tambang batubara melalui penanaman Desmodium ovalium. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara. 16(1): 39-45.
0 Komentar