HISTOSOLS
Histosols, salah satu dari 12 ordo tanah berdasarkan
Taksonomi Tanah Amerika Serikat. Histosols atau tanah gambut merupakan jenis tanah yang
tergolong ke dalam kelompok tanah organik. Histosols atau tanah gambut memiliki
bahan organik dengan ketebalan > 50 cm dan kadar C organik > 12 %
(Subardja et al., 2016). Histosols atau tanah gambut
terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah
lapuk maupun belum. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu
pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda
dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses
pedogenik (Hardjowigeno, 1986 cit.
Agus dan Subiksa, 2008).
Soil Survey Staff. 1998.
Gambut
diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari
tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya .
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:
• Gambut
saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak
dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan
seratnya < 15%.
• Gambut hemik
(setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih
bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%.
Gambut hemik diambil dengan bor gambut (peat sampler)
Agus dan Subiksa, 2008
• Gambut
fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa
dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas
>75% seratnya masih tersisa
Gambut Fibrik diambil dengan bor gambut (peat sampler)
Agus dan Subiksa, 2008
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan
menjadi:
•
Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya
akan bahan mineral dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif
subur biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai
atau laut.
•
Gambut mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena
memiliki kandungan mineral dan basa-basa sedang.
•
Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur
karena miskin mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang
jauh dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik
(Agus dan Subiksa, 2008).
Berdasarkan
lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas:
•
gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada
lingkungan yang hanya dipengaruhi oleh air hujan
•
gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan
yang mendapat pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih
kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.
(Agus dan Subiksa, 2008).
Berdasarkan kedalamannya gambut
dibedakan menjadi:
•
gambut dangkal (50 – 100 cm),
•
gambut sedang (100 – 200 cm),
•
gambut dalam (200 – 300 cm), dan
•
gambut sangat dalam (> 300 cm)
(Agus dan Subiksa, 2008).
Berdasarkan proses dan lokasi
pembentukannya, gambut dibagi menjadi:
•
gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat
pantai laut dan mendapat pengayaan mineral dari air laut
•
gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di
daerah yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air
hujan
•
gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara
kedua wilayah tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang
laut.
(Agus dan Subiksa, 2008).
Sifat fisik dan kimia
Sifat fisik tanah gambut yaitu sifat
mengering tidak balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air <100%
(berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang
mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran
air dan mudah terbakar dalam keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988 cit. Agus dan Subiksa, 2008). Gambut
yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan
sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali.
Sifat kimia gambut di Indonesia
sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada
substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral
gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik.
Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan
sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin,
tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya. Lahan gambut umumnya
mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3 – 5 (Agus dan Subiksa, 2008).
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara
tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar di beberapa pulau terutama di Sumatera, Kalimantan dan
Papua (BB Litbang SDLP, 2008 cit. Agus dan Subiksa, 2008). Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di
beberapa propinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan
Barat dan Kalimantan Tengah. Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong
gambut mesotrofik dan oligotrofik (Radjagukguk, 1997 cit. Agus dan Subiksa, 2008).
Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah
pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai.
Lembaga yang membawahi lahan gambut di Indonesia yaitu Badan Restorasi
Gambut (BRG).
Sumber:
Agus, F.
dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF),
Bogor, Indonesia
Soil Survey Staff. 1998. Dominant Soil Orders and Suborders—Soil
Taxonomy 1998, United States of America. Map and Soil Photographs, USDA Natural
Resources Conservation Service. National Soil Survey Center, Lincoln, Nebraska.
Subardja, D., S. Ritung, M. Anda, Sukarman, E. Suryani, dan R.E.
Subandiono. 2016. Petunjuk Teknis Klasifikasi Tanah Nasional. Edisi Ke-2. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
United States Department of Agriculture, 2016. Kunci Taksonomi Tanah.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
0 Komentar