Gambar 1. Ilustrasi Penerapan Zero Tillage Farming
(Sumber: wikifarmer.com)
Salah satu penerapan konsep pertanian yang cukup eksis di beberapa negara maju adalah sistem pertanian no tillage atau dapat disebut sebagai pertanian zero tillage. Derpsch (2010) mengestimasikan bahwa praktik pertanian tanpa pengolahan tanah ini sudah diterapkan pada 111 juta hektar lahan pertanian di berbagai belahan dunia, termasuk di Amerika, Australia, Asia, Eropa, dan Afrika. Intensitas penerapan pertanian dengan konsep zero tillage ini berbeda-beda di setiap benua. Data statistik yang disajikan oleh Derpsch (2010) memaparkan bahwa pengadopsian konsep zero tillage sudah tersebar di berbagai negara, misalnya negara di Benua Amerika Selatan dengan luas lahan yang digunakan sebesar 49.579.000 hektar, Benua Amerika Utara dengan luas lahan sebesar 40.074.000 hektar, Benua Australia dan Selandia Baru dengan luas lahan sebesar 17.162.000 hektar, Benua Asia dengan luas lahan sebesar 2.530.000 hektar, Eropa dengan luas lahan sebesar 1.150.000 hektar, dan Afrika dengan luas lahan sebesar 368.000 hektar
Tabel 1. Total luasan lahan yang menerapkan konsep zero tillage pada berbagai wilayah
Zero tillage farming merupakan suatu sistem pertanian konservasi yang merujuk pada tiga prinsip, yaitu tidak adanya adanya gangguan pada tanah, adanya tutupan tanah berupa mulsa biomassa, serta adanya diversifikasi berbagai spesies tanaman melalui sistem rotasi tanaman, suksesi, ataupun tumpangsari (Peixoto et al., 2020). Hal tersebut juga dijelaskan oleh Derpsch (2010) bahwa praktik-praktik yang dilakukan dalam sistem pertanian konservasi tanpa pengolahan tanah meliputi: 1) meminimalisir berbagai macam gangguan tanah mekanis secara berkelanjutan dengan maksud bahwa kegiatan bertani dilakukan tanpa adanya pengolahan tanah serta proses penyemaian dilakukan dengan gangguan tanah yang seminimal mungkin; 2) adanya penutup tanah organik permanen yang menunjukkan kapasitas retensi sisa tanaman pada permukaan tanah itu cukup, tanaman penutup tanah guna melindungi dan memberi nutrisi untuk tanah, serta termasuk mulsa permukaan; dan 3) adanya diversifikasi spesies tanaman yang ditanam, baik secara berurutan maupun berasosiasi melalui rotasi tanaman dan percampuran guna membantu mengurangi berbagai macam permasalahan/gangguan (gulma, penyakit, dan hama), meningkatkan produksi biomassa, memperbaiki nitrogen di atmosfer, serta mengoptimalkan fungsi sebagai pompa nutrisi.
Dalam persiapan lahan pertanian dengan metode zero tillage, tanah dibiarkan tidak terganggu, kecuali alur kecil dan lubang tanam untuk penempatan bibit, kemudian gulma harus dikendalikan dengan menggunakan herbisida sistemik sebelum tanaman ditanam sehingga tidak mengganggu proses penempatan bibit (Purba et al., 2017). Sisa-sisa gulma dapat dimanfaatkan untuk menutupi permukaan tanah sehingga berperan sebagai mulsa dan menekan pertumbuhan gulma baru (Purba et al., 2017). Selain dengan herbisida sistemik, pengendalian hama juga dilakukan dengan pertimbangan rotasi tanaman dan penggunaan spesies tanaman penutup yang disesuaikan serta agresif (Hendrik, 2022).
Evolusi teknologi dan perluasan zero tillage di Brazil tropis merupakan contoh yang menunjukkan bahwa zero tillage dapat diterapkan dan diterima oleh petani di wilayah tropis. Hal ini dijelaskan secara rinci oleh (Landers, 2001) dalam bukunya yang berjudul Zero Tillage Development in Tropical Brazil. Penerapan zero tillage dimulai pada tahun 1966 dengan kehadiran John Landers, seorang agronomis Britania yang memperkenalkan teknologi ini dengan varietas soybean tropis pertama di dunia. Petani Brazil aktif dalam mempromosikan teknologi zero tillage dan area yang ditanami dengan metode ini meningkat dari 0 menjadi 15 juta hektar di Cerrado dalam kurun waktu 38 tahun. Adanya organisasi, seperti Clubes Amigos da Terra (CATs) dan Zero Tillage Association for the Tropics (ZTAT) berperan penting dalam penyebaran teknologi ini melalui konferensi, diskusi, dan proyek lapangan. Perusahaan swasta, seperti Mana S. A. juga mendukung pengembangan pertanian tanpa pengolahan di wilayah tropis Brazil. Pemerintah Brazil memberikan dukungan finansial dan teknis untuk proyek ini dan masyarakat turut berperan dalam menyebarkan teknologi ini melalui konferensi dan kelompok diskusi. Pengembangan zero tillage di Brazil Tropis telah mencapai hasil penting, termasuk peningkatan produksi, keamanan tanah, dan kualitas lingkungan. Dengan demikian, pengembangan zero tillage di Brazil Tropis menunjukkan bahwa teknologi ini dapat diterapkan dan diterima oleh petani di wilayah tropis dengan bantuan organisasi, sektor swasta, pemerintah, dan masyarakat.
Pertanian dengan konsep zero tillage juga diterapkan di Bangladesh melalui pengoperasian traktor roda dua di lahan pertanian (Johansen et al., 2012). Dalam kurun waktu antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2004, 180 lahan petani digunakan dalam pengembangan mesin tanam tanpa pengolahan tanah ini sehingga didapatkan cakupan lahan efektif sebagai hasil dari pengembangan traktor roda dua ini sebesar 0.18 ha dan biaya penanaman gandum dapat ditekan hingga 83% (Johansen et al., 2012). Selain itu, penggunaan mesin tersebut juga mempengaruhi waktu antara panen padi musim hujan dan penanaman padi musim dingin yang berkurang 10–15 hari dibandingkan dengan sistem penanaman padi konvensional (Johansen et al., 2012).
Salah satu tantangan dari penerapan konsep zero tillage di lahan pertanian adalah mencapai keuntungan produksi yang berimbang dengan hasil produksi pada pengolahan lahan secara konvensional. Hal tersebut diikuti dengan tidak adanya penurunan hasil panen secara signifikan maupun peningkatan risiko dalam menanam tanaman tersebut (Johansen et al., 2012). Di samping itu, beberapa tantangan utama dari implementasi zero tillage di lahan pertanian, meliputi pemadatan tanah, manajemen gulma, serta stratifikasi karbon organik tanah dan unsur hara (Peixoto et al., 2020). Zero tillage menjadi salah satu hal yang menarik bagi petani karena biaya produksi yang dibutuhkan lebih rendah dibandingkan dengan biaya pengolahan tanah secara konvensional serta mampu menyediakan hari tanam yang lebih lama (Landers, 2001). Selain itu, pengoperasiannya juga lebih sederhana untuk dikelola, toleransi kekeringannya lebih besar, biaya investasi/penggantian mesin pertanian yang lebih rendah, dan hasil panen lebih tinggi (Landers, 2001). Penerapan sistem pertanian zero tillage juga berpeluang untuk menekan kebutuhan tenaga kerja serta mendorong efisiensi waktu dalam kegiatan pertanian (Johansen et al., 2012).
Dalam pertanian modern, perbandingan antara zero tillage dan metode konvensional menjadi perhatian yang cukup penting, khususnya bagi petani. Zero tillage menawarkan berbagai keuntungan, seperti peningkatan kualitas tanah, pengendalian gulma yang lebih baik, dan konservasi air yang lebih efektif (Syahrudin et al., 2022). Meskipun metode konvensional masih banyak digunakan, metode ini masih memiliki kelemahan dalam hal degradasi tanah. Hal ini terjadi karena tanah mengalami kehilangan nutrisi dan mikroba penting akibat tanah yang terus menerus diolah secara intensif cenderung memiliki risiko erosi yang tinggi (Syahrudin et al., 2022). Zero tillage farming dapat menjadi salah satu alternatif manajemen pengolahan tanah untuk pertanian saat ini, terutama pertanian berskala kecil.
Daftar Pustaka
Asfaruddin, A., P. Prihanani, dan A. Saputra. 2022. The effect of soil treatment system and NPK fertilizer with different dosages on growth and production of tomato plants (Lycopersicum esculentum Mill.). Jurnal Agroqua: Media Informasi Agronomi dan Budidaya Perairan, 20(2): 358-369.
Derpsch, R., T. Friedrich, A. Kassam, dan H. Li. 2010. Current status of adoption of no-till farming in the world and some of its main benefits. International journal of agricultural and biological engineering, 3(1): 1-25.
Gribaldi, G. 2016. Peningkatan pertumbuhan dan produksi jagung manis melalui penerapan sistem pengolahan tanah dan pemberian mulsa pada lahan. Jurnal Lahan Suboptimal: Journal of Suboptimal Lands, 5(2): 119-126.
Hendrik, E. 2022. Teknik pertanian konservasi berdasarkan pengolahan tanpa olah tanah. Buletin Ilmiah IMPAS, 23(1): 85-94.
Johansen, C., M.E. Haque, R.W. Bell, C. Thierfelder, and R.J. Esdaile. 2012. Conservation agriculture for small holder rainfed farming: Opportunities and constraints of new mechanized seeding systems. Field Crops Research, 132: 18-32.
Kumari, A., P. Ashoka, P. Tiwari, P. Sachan, A.K. Malla, A.Z. Tripathy, and M. Chowdhury. 2023. Zero tillage lead to enhanced productivity and soil health. International Journal of Environment and Climate Change, 13(10): 3707-3715.
Landers, J. N. 2001. Zero tillage development in Tropical Brazil. Wageningen University and Research Centre, Netherlands.
Nickel, R. 2023. No-tilling in heavy soil. https://www.agriculture.com/no-tilling-in-heavy-soil-7965562. Diakses 18 Mei 2024.
Peixoto, D. S., L.D.C.M. da Silva, L.B.B. de Melo, R.P. Azevedo, B.C.L. Araújo, T.S. de Carvalho, S.G. Moreira, N. Curi, and B.M. Silva. 2020. Occasional tillage in no-tillage systems: A global meta-analysis. Science of the total environment, 745: 1-14.
Purba, E. dan T. Sabrina. 2017. Pertumbuhan dan produksi jagung (Zea mays. L) pada berbagai pengelolaan gulma di Kabupaten Deli Serdang. Dentika: Dental Journal, 4(3): 190-195.
Syahrudin, K., M. Abid, dan Fatmawati. 2022. Penampilan agronomi dan seleksi jagung hibrida pada lahan sawah tadah hujan dengan sistem tanam tanpa olah tanah. Jurnal Agronomi, 9(1): 106-115.
0 Komentar