Air
merupakan salah satu elemen penting yang mengisi hampir seluruh bagian permukaan
bumi, dimana air
sangat dibutuhkan oleh
seluruh mahkluk hidup dalam proses perkembangan dan
pertumbuhannya. Air merupakan penyusun utama dari protoplasma sel tumbuhan,
berfungsi mengatur suhu tanaman, dan yang paling penting, air merupakan salah
satu komponen dalam proses fotosintesis dalam menghasilkan nutrisi bagi tanaman
(Felania, 2017). Sebagian besar kandungan air pada tumbuhan yang setara dengan
100 kali berat segar tanaman dapat hilang melalui permukaan daun saat tumbuhan
mengambil gas CO2, dimana terjadinya kehilangan air tersebut disebut dengan
proses transpirasi (Taiz & Zeiger,
2002). Transpirasi dapat terjadi pada siang dan malam hari dimana
terjadinya kehilangan air melalui proses transpirasi lebih banyak terjadi pada
siang hari ( Miller, 1931).
Indonesia
memiliki wilayah dengan luas lahan arid mencapai lebih dari 140 juta ha dan
merupakan lahan yang potensial jika dimanfaatkan untuk mendukung pertanian
Indonesia. Wilayah yang termasuk dalam zona arid yaitu NTT, NTB, sebagian Bali,
Jawa Timur, sebagian Sulawesi Selatan dan sebagian Papua (Wulandari et al.,
2020). Menurut Wulandari et al. (2020), Ciri khas lahan arid adalah
adanya perbedaan musim hujan dan kemarau yang sangat jelas. Pada daerah arid,
musim hujan akan terjadi dalam 3-4 bulan dan musim kemarau akan berlangsung
selama 7-8 bulan, dimana curah hujan tahunannya kurang dari 1000 mm. Pada
wilayah ini, proses evapotranspirasi terjadi lebih besar dari pada presipitasi,
sehingga ketersediaan air di wilayah ini menjadi rendah.
Ketersediaan
air pada suatu wilayah sangat mempengaruhi pertumbuhan dan jenis tanaman yang
tumbuh diwilayah tersebut. Wilayah kering dengan curah hujan yang rendah dan
suhu yang relatif tinggi seperti pada wilayah Indonesia timur, pada rentang
waktu tertentu selalu mengalami masalah kekurangan air. Wilayah-wilayah dengan
kondisi kekurangan air, memaksa petani untuk menerapkan pertanian dengan pola
tanam yang menyesuaikan dengan jenis tanaman yang sesuai dan keadaan lingkungan
tersebut. Petani biasanya menanam tanaman pangan semusim yang ditanam pada
musim hujan. Ketika musim kemarau tiba, mereka lebih memilih untuk
menggembalakan ternak mereka dibanding melakukan kegiatan pertanian (Wulandari et
al., 2020).
Wilayah
dengan musim hujan yang singkat hanya mengandalkan air hujan dalam pemenuhan
kebutuhan air di lahan pertaniannya dan tentu tidak efektif untuk kegiatan
pertanian. Sistem pengairan yang hanya mengandalkan air hujan tersebut peka
terhadap cekaman kekeringan, terlebih pada musim kemarau. Oleh karena itu, perlu adanya upaya agar petani tetap dapat
melakukan kegiatan pertanian bahkan di musim kemarau sekalipun (Haryati, 2014).
Untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkan teknologi yang dapat meninggkatkan
efektivitas dan efisiensi penggunaan air seperti irigasi bawah permukaan tanah.
Pada
tumbuhan, akar merupakan satu-satunya bagian tubuh tumbuhan yang memiliki
interaksi langsung dengan tanah, dimana hampir seluruh akar tumbuhan bergerak
kedalam tanah. Hooker (1915) mengatakan bahwa akar secara positif bersifat
hidrotropik di udara lembab dan mereka bereaksi hanya ketika kelembapan udara
berada di antara 80 dan 100 persen kejenuhan. Akar akan berubah dengan
mengikuti kelembaban di dalam tanah hanya jika bersentuhan langsung atau sangat
dekat dengan kelembapan tersebut. Dalam hubungan ini, akar tidak dapat menembus
lapisan tanah kering untuk mencapai persediaan air yang mungkin ada di
bawahnya, karena dalam tanah yang kering, akar akan mengeluarkan air sehingga
mengakibatkan akar tidak berfungsi lagi.
Gambar 1. Aplikasi sistem irigasi bawah permukaan
( Sumber : Mansour & Aljughaiman, 2020)
Melalui
sifat akar yang telah dijelaskan, maka dalam mengatasi masalah kekurangan air
pada lahan yang kering dapat menggunakan sistem irigasi bawah Permukaan tanah,
dimana air dan nutrisi yang dibutuhkan tumbuhan dapat dialirkan secara berkala
melalui pipa-pipa kecil yang ditanam langsung melewati akar tumbuhan di dalam
tanah, sehingga air dan nutrisi akan langsung diserap oleh akar tanaman tanpa
adanya perantara. penggunaan teknologi ini dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan air dibandingkan dengan irigasi yang mengalirkan air melalui
permukaan tanah, dimana air tidak dapat diserap seluruhnya oleh tanaman karena
pada tanah kering, air akan diserap lebih banyak oleh tanah dibandingkan
diserap langsung oleh tanaman.
Gambar
2. Sistem subsurface irrigation
(Sumber
: dokumen pribadi)
Sistem irigasi ini memanfaatkan
tekanan yang dapat dihasilkan dengan pompa untuk mengalirkan air melalui
pipa-pipa kecil di bawah permukaan tanah. Pada sistem irigasi ini terdapat
ruang kontrol yang berisi pompa dan bak penampungan untuk mengalirkan air dan
nutrisi tanaman ke lahan pertanian. Pada lahan pertanian juga terdapat bak
kontrol kecil dan pompa untuk mengalirkan langsung melalui pipa yang dialirkan
kedalam tanah. Dengan adanya ruang kontrol petani dapat dengan mudah memantau
lahan dan penggunaan air serta pupuk pada lahan pertanian.
Sistem irigasi bawah permukaan
tanah memiliki banyak manfaat khususnya di bidang pertanian. Manfaat yang
pertama adalah penggunaan air yang lebih efisien karena evaporasi, runoff,
dan perkolasi akan semakin berkurang. Kedua, kualitas air yang berbahaya lebih
sedikit, dikarenakan limpasan ke sungai dikurangi atau dihilangkan. Ketiga,
terdapat peningkatan peluang penggunaan air yang terdegradasi, sebagai akibat
dari aplikasi irigasi yang lebih kecil dan lebih sering. Keempat, keseragaman
pengaplikasian air yang lebih baik diakibatkan peningkatan keseragaman di
lapangan menghasilkan kontrol yang lebih baik terhadap air, nutrisi, dan garam.
Kelima, Peningkatan pertumbuhan tanaman, hasil panen, dan kualitas. Keenam,
Meningkatakan Kesehatan tanaman, yang mana patogen tanaman berkurang karena
kondisi kurang lembab di sekitar tajuk tanaman.
Air merupakan komponen yang sangat
penting dalam bidang pertanian. Pertanian yang memanfaatkan lahan dengan jumlah
ketersedian air yang sedikit, memerlukan suatu inovasi agar petani tetap bisa
bertani dengan ketersediaan air yang terbatas, yaitu dengan memanfaatkan sistem
subsurface irrigation. System irigasi ini dapat membantu petani agar
tetap dapat memenuhi kebutuhan air di lahan pertanian dengan kondisi yang
sangat kering dan pada musim kemarau sekalipun, dimana ketersediaan air akan
semakin sedikit.
Referensi:
Felania, C. 2017. Pengaruh ketersediaan
air terhadap pertumbuhan kacang hijau (Phaceolus radiatus). In Seminar Nasional
Pendidikan Biologi (pp. 131-38).
Haryati, U. 2014. Teknologi irigasi
suplemen untuk adaptasi perubahan iklim pada pertanian lahan kering. Jurnal
Sumberdaya Lahan. 8(1): 43-57.
HOOKER, H. D. 1917. Liebig's law of the
minimum in relation to general biological problems. Science, n.s. 46: 197-204.
Lamm, F. R. and Camp, C. R.
2007. 13. Subsurface drip irrigation. In developments in agricultural
engineering. Elsevier. 13 : 473-551.
Mansour, H. A. and A. S. Aljughaiman.
2020. Assessment of surface and subsurface drip irrigation systems with
different slopes by hydrocalc model. International Journal of GEOMATE. 19(73):
91-99.
Miller, E., C. 1931. Plant
physiology with reference to the green plant. Mcgraw-hill book company, inc.
New York
Taiz, L. and Zeiger, E.
2002. Plant Physiology, 3rd ed.Sinauer
Associates Incorporated
Wulandari, C., S. P. Harianto, dan D.
Novasari. 2020. Pengembangan agroforestri yang berkelanjutan dalam menghadapi
perubahan iklim. pusaka media, Bandarlampung.
0 Komentar