Recents in Beach

October Edition - Ameliorasi untuk Lahan Salin

 

Lahan sawah tercekam salinitas di Rancaekek, Bandung

 (Sumber : Dariah et al., 2018)

Tanah salin merupakan tanah dengan kandungan garam berlebih yang dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman dan defisiensi unsur hara nitrogen (Dewi dan Setiawati, 2017). Kendala pemanfaatan tanah salin sebagai lahan pertanian yaitu kandungan ion-ion yang bersifat toksik dalam jumlah yang tinggi sehingga dapat merugikan tanaman (Nugraheni et al., 2003 cit. Dewi dan Setiawati, 2017). Cekaman salinitas yang tinggi dapat menjadi penyebab utama penurunan produksi tanaman di lahan salin. Hal tersebut disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah salin yang rendah dan adanya defisiensi unsur-unsur hara, salah satunya adalah unsur hara nitrogen (Nugraheni et al., 2003 cit. Dewi dan Setiawati, 2017). Salinitas menghambat pertumbuhan dan menurunkan produktivitas tanaman (Wahyuningsih et al., 2017).

Salinitas menimbulkan masalah bagi tanaman karena konsentrasi berlebihan dari garam yang terlarut dalam tanah. Kadar garam yang tinggi pada tanah menyebabkan memburuknya sifat fisika, kimia, mikrobiologi tanah serta pertumbuhan tanaman (Tejada et al., 2005 cit. Purwaningrahayu dan Kuntyastuti, 2016). Pengelolaan tanah yang terpengaruh garam bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan garam dari tanah, dengan pemberian air irigasi berkualitas baik dalam jumlah yang banyak, ameliorasi dengan Ca dan Mg (kapur dan gipsum), serta bahan organik seperti kompos, pupuk kandang, dan gambut matang. Hal ini dapat meningkatkan KTK sehingga dapat mengurangi garam yang terlarut dalam tanah (Purwaningrahayu dan Kuntyastuti, 2016).

Salinitas menjadi salah satu ancaman bagi keberlanjutan pertanian hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia. Dari data FAO lebih dari 800 juta hektar lahan pertanian di dunia telah dipengaruhi oleh garam (FAO, 2008). Di Indonesia diperkirakan total luas lahan salin 440.300 ha dengan kriteria lahan agak salin 304.000 ha dan lahan salin 140.300 ha (Rachman et al., 2007 cit. Narwiyan et al., 2016).

 Hasil identifikasi areal sawah intensif dekat pantai di Daerah Indramayu yang terkena salinitas

(Sumber : Marwanto et al., 2009)

Hasil identifikasi tingkat salinitas tanah pada satu hamparan lahan sawah intensif di daerah Indramayu yang dilakukan oleh Marwanto et al. (2009) menunjukkan tingginya proporsi lahan sawah yang telah mengalami proses salinitas. Selain jarak dengan pantai, faktor topografi dan kerapatan irigasi aktif juga berpengaruh terhadap tingkat salinitas yang diderita lahan sawah. Di wilayah yang memiliki kontur tinggi dan jaringan irigasi aktif yang rapat, tingkat salinitasnya relatif rendah meskipun relatif dekat dengan pantai (Dariah et al., 2018).

Kadar salinitas yang tinggi memberikan efek racun secara langsung karena konsentrasi ion Na dan Cl yang tinggi menyebabkan adanya akumulasi dalam jaringan tanaman (Shamim dan Akae, 2009 cit. Rakhman et al., 2018). Upaya mengatasi permasalahan salinitas ini dapat ditempuh dengan memanfaatkan komoditas tanaman adaptif dan produktif, serta ameliorasi dan pemupukan (Arsyad et al., 2014 cit. Rakhman et al., 2018).

Larutan tanah berkadar garam tinggi di daerah perakaran tanaman akan meningkatkan tekanan osmotik sehingga akar tanaman kesulitan dalam menyerap air menyebabkan terjadinya kekeringan fisiologis pada tanaman. Pada kondisi dimana konsentrasi garam dalam tanah cukup tinggi, maka air yang ada di dalam sel tanaman akan bergerak keluar, dinding protoplasma mengkerut dan sel rusak (plasmolisis). Tanaman harus mengatasi tekanan osmotik tinggi. Selain itu, pada beberapa tanaman dapat terjadi ketidakseimbangan hara disebabkan oleh kadar hara tertentu terlalu tinggi (Dariah et al., 2018).

Berdasarkan kemampuan untuk tumbuh pada keadaan salin, tanaman digolongkan menjadi glikofita dan halofita. Tanaman yang digolongkan sebagai halofita adalah tanaman yang tahan terhadap konsentrasi NaCl yang tinggi. Tanaman glikofita adalah tanaman yang tidak dapat mentolerir salinitas yang tinggi. Sebagian besar tanaman pertanian digolongkan sebagai tanaman glikofita (Kusmiati et al., 2004 cit. Dariah et al., 2018).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusmiyati et al. (2009), peningkatan kadar NaCl mampu menurunkan luas daun dan produksi bahan kering pada lamtoro dan Centrosema pusbescens (Sentro), masing-masing sebesar 65,4% dan 51,4%. lahan salin memiliki potensi yang cukup luas dalam bidang pembangunan pertanian yang dikhususkan dalam budidaya tanaman pangan dimana potensi tersebut dapat menjadi suatu tantangan dalam peningkatan produksi pertanian yang lebih kompleks (Rakhman et al., 2018).

Perbandingan lahan sawah normal dengan lahan sawah pada tanah salin

(Sumber : Dariah et al., 2018)

Amelioran yang dapat digunakan untuk ameliorasi lahan salin ini antara lain: pupuk kandang sapi, gypsum, jerami padi, dan pupuk hijau (Crotalaria juncea L.). Pemberian jerami dapat menyumbangkan ketersediaan bahan organik di dalam tanah, sehingga kemampuan kapasitas tukar kation (KTK) mineral garam (Na dan Cl) dengan senyawa basa lain seperti Ca, Mg, dan K juga meningkat. Sementara itu, kandungan kimia yang berkualitas dalam Crotalaria juncea juga dapat memperbaiki sifat-sifat tanah seperti sifat kimia (C organik, N, dan P), sifat fisik (stabilitas makro agregat tanah), dan sifat biologi (populasi mikroorganisme tanah) apabila dimasukkan dalam proses pengolahan tanah. Aplikasi penggunaan pupuk kandang sapi mampu menurunkan pH tanah dari 6,7 menjadi 6,28 karena adanya penambahan asam-asam organik dari proses dekomposisi pupuk. Gypsum merupakan bahan yang dapat digunakan sebagai bahan pembenah tanah yang memiliki kandungan kimia berupa Ca2+ (kalsium fosfat) dan SO42- (sulfat). Kandungan Ca2+ dapat menggantikan Na+ dalam tanah, karena sifatnya, Na+ akan tercuci dan diharapkan mampu menurunkan kadar salin dalam tanah. Kandungan SO42- berperan dalam mengatur pH tanah dan dapat mempengaruhi sifat kimia dan ketersediaan unsur hara N, P, K, dan Mg (Rakhman et al., 2018).

            Selain itu, terdapat beberapa upaya lain untuk mengatasi terjadinya lahan salin, diantaranya yaitu (1) pembenahan menggunakan kapur yang mengandung banyak kalsium yang dapat dimanfaatkan untuk mengusir Na dari dalam tanah, sehingga kandungan natriumnya menjadi berkurang dan salinitasnya turun. Mekanisme penurunan salinitas tanah yang diberi kapur pertanian mengikuti reaksi 2Na-tanah + 3CaCO3 + H2O 3Ca-tanah + 2Al (OH)3 (mengendap) + 3H2CO3 + 2Na. Natrium terlepas dari butiran tanah dan mengalir mengikuti aliran air ke luar lahan salin. Dalam hal penurunan salinitas, kapur pertanian berkadar kalsium tinggi berperan dalam memisahkan natrium dari butiran tanah. Oleh karena itu, makin tinggi kandungan kalsiumnya memungkinkan terjadi desalinitas yang lebih cepat. (2) penggunaan abu vulkanik, pembenah tanah berbahan dasar abu vulkanik yang dapat digunakan untuk merehabilitasi lahan sawah salin mengandung Ca tinggi agar mampu mengikat natrium sementara diberi nama Volkanorfs. (3) penanaman tanaman mendong (Fimbristylis umberalis) yang memiliki tingkat toleransi terhadap salinitas yang tinggi. (4) pencegahan masuknya air asin dengan membuat pintu-pintu air pada lokasi-lokasi tempat pergerakan air laut masuk ke daratan (Dariah et al., 2018).

Tanaman mendong (Fimbristylis umberalis)

(Sumber : Dariah et al., 2018)

Ameliorasi pada tanah salin, salin-sodik, dan sodik bertujuan untuk menghilangkan Na dari situs pertukaran kation koloid dan pencucian Na+ keluar dari zona akar melalui perkolasi air (Ilyas et al., 1997 cit. Purwaningrahayu dan Kuntyastuti, 2016). Amelioran dengan bahan kimia menyediakan sumber Ca2+ untuk menggantikan Na+ dari kompleks pertukaran kation (Oster, 1982 cit. Purwaningrahayu dan Kuntyastuti, 2016). Bahan amelioran yang biasa digunakan sebagai sumber Ca2+ termasuk kalsium klorida (CaCl2. 2H2O), gypsum (CaSO4.2H2O), dan phosphogypsum. Dari berbagai bahan tersebut, gypsum adalah amelioran yang umum digunakan karena relatif murah, banyak tersedia, dan mudah diaplikasikan (Shainberg et al., 1989 cit. Purwaningrahayu dan Kuntyastuti, 2016). Pada tanah kering dengan pH basa, amelioran dengan residu organik merupakan strategi ameliorasi tanah salin yang baik (Garcia et al., 2000 cit. Purwaningrahayu dan Kuntyastuti, 2016).

 

Sumber Referensi:

Dariah, A. I., Sutono, S., dan Rachman, A. 2018. Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi. IAARD Press. Jakarta.

Dewi, A. K., dan Setiawati, M. R. 2017. Pengaruh pupuk hayati endofitik dengan Azolla pinata terhadap serapan N, N-total tanah, dan bobot kering tanaman padu (Oryza sativa L.) pada tanah salin. Agrologia 6(2) : 54-60.

Narwiyan., Rosmayati., dan Bayu, E. S. 2016. Sebaran normal karakter pertumbuhan dan produksi hasil persilangan kedelai (Glycine max L. Merril) varietas Anjasmoro dengan Genotipa kedelai tanah salin pada F2. Jurnal Agroteknologi 4(4) : 2300-2307.

Purwaningrahayu, R. D., dan Kuntyastuti, H. 2016. Efektivitas ameliorant dan toleransi genotipe kedelai terhadap salinitas pada tanah salin. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 226-234.

Rakhman, M. N., W. S. D. Yamika., dan Y. Sugito. 2018. Pengaruh macam ameliorant pada dua varietas jagung (Zea mays L) di tanah salin. Jurnal Produksi Tanaman 6(8): 1868-1874

Wahyuningsih, S., Kristiono, A., dan Taufiqa A. 2017. Pengaruh jenis ameliorant terhadap pertumbuhan dan hasil kacang hijau di tanah salin. Buletin Palawija 15(2) : 69-77.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar