Lahan sawah tercekam salinitas di Rancaekek, Bandung
(Sumber
: Dariah et al., 2018)
Tanah salin merupakan tanah dengan kandungan garam
berlebih yang dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman dan defisiensi
unsur hara nitrogen (Dewi dan Setiawati, 2017). Kendala pemanfaatan tanah salin
sebagai lahan pertanian yaitu kandungan ion-ion yang bersifat toksik dalam
jumlah yang tinggi sehingga dapat merugikan tanaman (Nugraheni et al., 2003 cit. Dewi dan Setiawati, 2017). Cekaman salinitas yang tinggi dapat
menjadi penyebab utama penurunan produksi tanaman di lahan salin. Hal tersebut
disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah salin yang rendah dan adanya defisiensi
unsur-unsur hara, salah satunya adalah unsur hara nitrogen (Nugraheni et al., 2003 cit. Dewi dan Setiawati, 2017). Salinitas menghambat pertumbuhan
dan menurunkan produktivitas tanaman (Wahyuningsih et al., 2017).
Salinitas menimbulkan masalah bagi tanaman karena
konsentrasi berlebihan dari garam yang terlarut dalam tanah. Kadar garam yang
tinggi pada tanah menyebabkan memburuknya sifat fisika, kimia, mikrobiologi
tanah serta pertumbuhan tanaman (Tejada et
al., 2005 cit. Purwaningrahayu
dan Kuntyastuti, 2016). Pengelolaan tanah yang terpengaruh garam bertujuan
untuk mengurangi atau menghilangkan garam dari tanah, dengan pemberian air
irigasi berkualitas baik dalam jumlah yang banyak, ameliorasi dengan Ca dan Mg
(kapur dan gipsum), serta bahan organik seperti kompos, pupuk kandang, dan
gambut matang. Hal ini dapat meningkatkan KTK sehingga dapat mengurangi garam
yang terlarut dalam tanah (Purwaningrahayu dan Kuntyastuti, 2016).
Salinitas menjadi salah satu ancaman bagi keberlanjutan pertanian hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia. Dari data FAO lebih dari 800 juta hektar lahan pertanian di dunia telah dipengaruhi oleh garam (FAO, 2008). Di Indonesia diperkirakan total luas lahan salin 440.300 ha dengan kriteria lahan agak salin 304.000 ha dan lahan salin 140.300 ha (Rachman et al., 2007 cit. Narwiyan et al., 2016).
(Sumber : Marwanto et
al., 2009)
Hasil identifikasi tingkat salinitas tanah pada satu
hamparan lahan sawah intensif di daerah Indramayu yang dilakukan oleh Marwanto et
al. (2009) menunjukkan tingginya proporsi lahan sawah yang telah mengalami
proses salinitas. Selain jarak dengan pantai, faktor topografi dan kerapatan
irigasi aktif juga berpengaruh terhadap tingkat salinitas yang diderita lahan
sawah. Di wilayah yang memiliki kontur tinggi dan jaringan irigasi aktif yang
rapat, tingkat salinitasnya relatif rendah meskipun relatif dekat dengan pantai
(Dariah et al., 2018).
Kadar salinitas yang tinggi memberikan efek racun secara
langsung karena konsentrasi ion Na dan Cl yang tinggi menyebabkan adanya
akumulasi dalam jaringan tanaman (Shamim dan Akae, 2009 cit. Rakhman et
al., 2018). Upaya mengatasi permasalahan salinitas ini dapat ditempuh
dengan memanfaatkan komoditas tanaman adaptif dan produktif, serta ameliorasi
dan pemupukan (Arsyad et al., 2014 cit. Rakhman et al.,
2018).
Larutan tanah berkadar garam tinggi di daerah perakaran
tanaman akan meningkatkan tekanan osmotik sehingga akar tanaman kesulitan dalam
menyerap air menyebabkan terjadinya kekeringan fisiologis pada tanaman. Pada
kondisi dimana konsentrasi garam dalam tanah cukup tinggi, maka air yang ada di
dalam sel tanaman akan bergerak keluar, dinding protoplasma mengkerut dan sel
rusak (plasmolisis). Tanaman harus mengatasi tekanan osmotik tinggi. Selain
itu, pada beberapa tanaman dapat terjadi ketidakseimbangan hara disebabkan oleh
kadar hara tertentu terlalu tinggi (Dariah et al., 2018).
Berdasarkan kemampuan untuk tumbuh pada keadaan salin,
tanaman digolongkan menjadi glikofita dan halofita. Tanaman yang digolongkan
sebagai halofita adalah tanaman yang tahan terhadap konsentrasi NaCl yang
tinggi. Tanaman glikofita adalah tanaman yang tidak dapat mentolerir salinitas
yang tinggi. Sebagian besar tanaman pertanian digolongkan sebagai tanaman
glikofita (Kusmiati et al., 2004 cit. Dariah et al.,
2018).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusmiyati et
al. (2009), peningkatan kadar NaCl mampu menurunkan luas daun dan produksi
bahan kering pada lamtoro dan Centrosema pusbescens (Sentro),
masing-masing sebesar 65,4% dan 51,4%. lahan salin memiliki potensi yang cukup
luas dalam bidang pembangunan pertanian yang dikhususkan dalam budidaya tanaman
pangan dimana potensi tersebut dapat menjadi suatu tantangan dalam peningkatan
produksi pertanian yang lebih kompleks (Rakhman et al., 2018).
Perbandingan lahan sawah normal dengan lahan sawah
pada tanah salin
(Sumber
: Dariah et al., 2018)
Amelioran yang dapat digunakan untuk ameliorasi lahan salin
ini antara lain: pupuk kandang sapi, gypsum, jerami padi, dan pupuk hijau (Crotalaria
juncea L.). Pemberian jerami dapat menyumbangkan ketersediaan bahan organik
di dalam tanah, sehingga kemampuan kapasitas tukar kation (KTK) mineral garam
(Na dan Cl) dengan senyawa basa lain seperti Ca, Mg, dan K juga meningkat. Sementara
itu, kandungan kimia yang berkualitas dalam Crotalaria juncea juga dapat memperbaiki sifat-sifat
tanah seperti sifat kimia (C organik, N, dan P), sifat fisik (stabilitas makro
agregat tanah), dan sifat biologi (populasi mikroorganisme tanah) apabila dimasukkan
dalam proses pengolahan tanah. Aplikasi penggunaan pupuk kandang sapi mampu
menurunkan pH tanah dari 6,7 menjadi 6,28 karena adanya penambahan asam-asam
organik dari proses dekomposisi pupuk. Gypsum merupakan bahan yang dapat
digunakan sebagai bahan pembenah tanah yang memiliki kandungan kimia berupa Ca2+
(kalsium fosfat) dan SO42- (sulfat). Kandungan Ca2+ dapat
menggantikan Na+ dalam tanah, karena sifatnya, Na+ akan
tercuci dan diharapkan mampu menurunkan kadar salin dalam tanah. Kandungan SO42-
berperan dalam mengatur pH tanah dan dapat mempengaruhi sifat kimia dan
ketersediaan unsur hara N, P, K, dan Mg (Rakhman et al., 2018).
Selain
itu, terdapat beberapa upaya lain untuk mengatasi terjadinya lahan salin,
diantaranya yaitu (1) pembenahan menggunakan kapur yang mengandung banyak
kalsium yang dapat dimanfaatkan untuk mengusir Na dari dalam tanah, sehingga
kandungan natriumnya menjadi berkurang dan salinitasnya turun. Mekanisme
penurunan salinitas tanah yang diberi kapur pertanian mengikuti reaksi
2Na-tanah + 3CaCO3 + H2O 3Ca-tanah + 2Al (OH)3 (mengendap) + 3H2CO3 + 2Na.
Natrium terlepas dari butiran tanah dan mengalir mengikuti aliran air ke luar
lahan salin. Dalam hal penurunan salinitas, kapur pertanian berkadar kalsium
tinggi berperan dalam memisahkan natrium dari butiran tanah. Oleh karena itu,
makin tinggi kandungan kalsiumnya memungkinkan terjadi desalinitas yang lebih
cepat. (2) penggunaan abu vulkanik, pembenah tanah berbahan dasar abu vulkanik
yang dapat digunakan untuk merehabilitasi lahan sawah salin mengandung Ca
tinggi agar mampu mengikat natrium sementara diberi nama Volkanorfs. (3)
penanaman tanaman mendong (Fimbristylis umberalis) yang memiliki tingkat
toleransi terhadap salinitas yang tinggi. (4) pencegahan masuknya air asin
dengan membuat pintu-pintu air pada lokasi-lokasi tempat pergerakan air laut
masuk ke daratan (Dariah et al., 2018).
Tanaman mendong (Fimbristylis
umberalis)
(Sumber
: Dariah et al., 2018)
Ameliorasi pada tanah salin, salin-sodik, dan sodik
bertujuan untuk menghilangkan Na dari situs pertukaran kation koloid dan
pencucian Na+ keluar dari zona akar melalui perkolasi air (Ilyas et
al., 1997 cit. Purwaningrahayu dan Kuntyastuti, 2016). Amelioran
dengan bahan kimia menyediakan sumber Ca2+ untuk menggantikan Na+
dari kompleks pertukaran kation (Oster, 1982 cit. Purwaningrahayu dan
Kuntyastuti, 2016). Bahan amelioran yang biasa digunakan sebagai sumber Ca2+
termasuk kalsium klorida (CaCl2. 2H2O), gypsum (CaSO4.2H2O), dan phosphogypsum.
Dari berbagai bahan tersebut, gypsum adalah amelioran yang umum digunakan
karena relatif murah, banyak tersedia, dan mudah diaplikasikan (Shainberg et
al., 1989 cit. Purwaningrahayu dan Kuntyastuti, 2016). Pada tanah
kering dengan pH basa, amelioran dengan residu organik merupakan strategi
ameliorasi tanah salin yang baik (Garcia et al., 2000 cit. Purwaningrahayu
dan Kuntyastuti, 2016).
Dariah, A. I., Sutono, S., dan
Rachman, A. 2018. Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi. IAARD Press.
Jakarta.
Dewi, A. K., dan Setiawati, M. R.
2017. Pengaruh pupuk hayati endofitik dengan Azolla pinata terhadap
serapan N, N-total tanah, dan bobot kering tanaman padu (Oryza sativa L.)
pada tanah salin. Agrologia 6(2) : 54-60.
Narwiyan., Rosmayati., dan Bayu, E.
S. 2016. Sebaran normal karakter pertumbuhan dan produksi hasil persilangan
kedelai (Glycine max L. Merril) varietas Anjasmoro dengan Genotipa
kedelai tanah salin pada F2. Jurnal Agroteknologi 4(4) : 2300-2307.
Purwaningrahayu, R. D., dan
Kuntyastuti, H. 2016. Efektivitas ameliorant dan toleransi genotipe kedelai
terhadap salinitas pada tanah salin. Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 226-234.
Rakhman, M. N., W. S. D. Yamika.,
dan Y. Sugito. 2018. Pengaruh macam ameliorant pada dua varietas jagung (Zea
mays L) di tanah salin. Jurnal Produksi
Tanaman 6(8): 1868-1874
Wahyuningsih, S., Kristiono, A.,
dan Taufiqa A. 2017. Pengaruh jenis ameliorant terhadap pertumbuhan dan hasil
kacang hijau di tanah salin. Buletin Palawija 15(2) : 69-77.
0 Komentar